#6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7



#6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7- Hai sahabat MOTIVASI. Masih semangat membaca Noel Hitam? Bagi anda yang baru bergabung di blog ini silahkan baca Kisah-kisah novel hitam sebelumnya, salah satunya Kelanjutan novel motivasi "hitam" episode 6. Novel yang berjudul hitam ini saya buat supaya bagi para pembaca dapat selalu semangat dalam menjalani kehidupan ini dan pastinya dapat pula terhibur.

Jangan lupa baca juga :

#6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7
#6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7 .Ilustrasi Foto : Sumber : thenerdsofcolor.org

Baiklah, berikut Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7

Bertumbuh kuat

            Tujuh tahun sudah aku disini, itu hanya perkiraanku saja, sudah sangat lama aku tidak melihat kalender ataupun jam. Kalau ini sudah tujuh tahun berlalu, itu berarti usiaku sekarang dua puluh tahun teng. Sudah berapa kali ulang-tahunku tidak dirayakan lagi, rindu sekali dengan masa-masa seperti itu, aku ingat betul, dulu mama dan ayah selalu memberikan “Suprise” jika kami berulang tahun. Sudah selama ini, namun jalan untuk keluar dari sini masih belum juga ditemukan, entah apa kabar adik-adikku sekarang, kalau mereka masih hidup, bisa kutebak usia mereka sekarang adalah 12 dan 17. Ah, usia seperti mereka seharusnya menjadi usia untuk menikmati dunia dengan senang-senang, berkumpul dengan keluarga.

            Sudah berapa tahun aku disini? Tujuh tahun? Dan usia sudah masuk berapa? 20 tahun, seharusnya aku sudah memasuki jenjang sekolah tinggi, siap menggapai cita-cita dengan pendidikan terbaik. Tapi sudahlah, lupakanlah semua itu, sekarang di rimba ini, aku sudah belajar, belajar tentang kehidupan, pahit-manis aku lalui bersama keluarga baru ini, aku sudah bertumbuh kuat. Apa yang pernah dikatakan kai? “Setiap makhluk yang terus berlatih untuk menaklukan kehidupan, menghadapi hidup dengan gagah berani, menghadapi rintangan, terus menerjang sungai yang deras, mako io akan tumbuh koko, macam gunung yang berdiri mantap di atas bumi..”

            Sekarang aku sudah tumbuh kuat, walaupun bukan dalam arti sebenarnya, kai yang mengatakan kalau aku menjadi “Pemudo” Kuat. Karena aku sudah tetap berdiri disaat badai-badai itu menghampiri. Sudah tidak terhitung berapa kali aku berlatih berburu, bela-diri, memanah, suku aye-aye benar-benar sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri, tidak ada rasa sungkan sedikitpun lagi disini.

            “Bagus sekali...” Kai bertepuk tangan saat anak panahku menancap persis di tanda merah itu, dengan memanah dari jarak ratusan meter. Yang lainnya ikut bertepuk tangan, kecuali Bolu.

            “Kau semakin mahir sajo sulung” Ambong menepuk pundakku, lihatlah dia sekarang, aku sedikit lebh tinggi ketimbang dia. Badan kami berdua sama-sama kekar, sudah tidak diherankan lagi kalau laki-laki disini membunyai tubuh atletis, kekar dan berisi, berkat latihan dan kerja keras membuat tubuh mereka otomatis terbentuk.

            Sekarang tidak ada lagi yang mengatakan kalau si Sulung itu anak “Manjo’, Rimba ini telah melenyapkan semua kemanjaan itu.

            Kai sudah mempercayai kami untuk berburu sendiri, kami semua hampir sama rata dalam keahlian memanah, meskipun kai bilang bahwa “Kaulah yang terahli sulung.. Sungguh kau yang lebih ahli ketimbang mereko-mereko ini” Membuat yang lainnya memasang ekspresi iri, lebih-lebih Bolu.

            Sinar matahari sedikit menyentuh bumi, menerabas lewat celah-celah daun. Satu burung sudah singga di sarang atas pohon, memberi makan anak-anaknya yang tengah kelaparan. Rimba ini betul-betul sudah akrab denganku, meskipun begitu, perlu beberapa puluh tahun lagi supaya Rimba ini betul-betul bisa dijelajahi semuanya.

            “Cepat kau bidik ruso itu, sulung” Ambong berbisik, kami tengah mengintai rusa yang sedang asyik memakan rerumputan segar, tanpa Ambong berbicara lebih banyak lagi anak panah sudah tertancap di tubuh rusa, membuat rusah itu terkapar di atas tanah.

            “Berhasill...” Ambong bersorak, aku berseru senang “YUHU!!” Segera keluar dari semak. Ambong Menghampiri rusa, Aku ikut menghampiri, ini rusa pertama kalinya hasil buruanku sendiri, daripada dibakar di goa malam ini, kenapa tidak kita bakar siang saja di depan goa, beramai-ramai, itu pasti seru. Ambong setuju, kami berdua langsung menyeret rusanya ke depan goa.

            Hari ini semua rombongan diliburkan dulu berburu oleh kai, untuk menikmati hasil buruan pertama si Sulung.

            “Oyoyoy sekarang si sulung sudah dewaso, bentar lagi kau sudah biso ikut rintangan untuk mendapatkan gading putih” Seorang bapak-bapak berkomentar.

            “Nah kamu Ami, rayulah si Sulung buat dijadikan suami, biar kau kelak punyo anak sedikit putean” Ibu-ibu menoel anak gadisnya, yang ditoel tersipu malu, wajahnya memerah, yang lain tertawa.

            “Si sulung itu cocoknyo samo anakku.. Oi sulung, kalau kau pilih istri nantinyo, pilih sajo anakku nih, biso membuat baju, rajin pulo..” Ibu-ibu yang lainnya tak mau kalah.

            “Samo aku sajo bu, aku tak kalah tampan samo si Sulung..” Bolu mendaftar.

            “Apolah kau nih Bolu, anakku tak mau samo kau, takut lihat tahi lalat sebesar jempol kaki di bawah hidung kau” Ibu-ibu yang tadi menolak.

            Suasana dipenuhi ramai lagi oleh tertawa. Kami sudah sibuk memotong-motong daging menggunakan gading putih milik kai dan orang dewasa lainnya, gading putih itu tajam sekali, dapat merobek-robek daging seketika, nanti akan aku jelaskan lagi lebih detail tentang gading putih. Yang lain sibuk membawa air untuk mencucinya, api sudah mengepul besar, asap-asapnya membuat nyamuk tak berani untuk dekat-dekat. Beberapa waktu kemudian, proses pemanggangan telah dimulai, kami yang kira-kira hanya puluhan itu sudah berlingkar di api besar yang sudah menjadi arang, memegang tusuk daging rusa satu-persatu.

            “Memangnyo kau tidak ado yang tertarik samo salah satu wanito disini..?” Ambong yang duduk di dekatku berbisik, menyelip canda dan tawa rombongan lainnya. Aku menggeleng, tatapan masih fokus ke daging yang sudah berada di atas bara api.

            “Kalau aku, lebih suko samo Ami tuh, meskipun io hitam-kurus begitu, io rajin, murah senyum, suka menolong, memang mukanyo tak secantik kupu-kupu, namun hatinyo melebihi cantiknyo kupu-kupu. Ami itu macam bungo melati, Kau tahu sendirilah bahwa bungo itu sebenarnyo cantik semuo, namun kalau diperhati-hatikan, ternyato berbedo, ado bungo cantik nian, namun waktu dicium, baunyo busuk nian, satunyo lagi baunyo harum, bentuknyo cantik, namun ternyato berduri, melukai. Nah yang sempurno itu macam bungo melati, kecil tando kesederhanaan, baunyo tidak terlalu menyengat, sehinggo tidak memambukkan, tidak berduri, sehinggo tidak menyakiti, macam Ami itu..” Panjang lebar Ambong berkata.

            “Daging kau sudah mau gosong Ambong, dibulak-balik dulu, jangan cakap bae sepanjangan..” Ibu-ibu memperingatkan, Ambong ber-eh, bergegas membalik panggangannya.

            Terdengar suara ayam hutan berkokok dari kejauhan.

            “Ayam hutan itu, kalau dari jauh jingoknyo macam jinak betul, eh pas didekati sedikit sajo, sudah terbang menggelepar, menjauh. Susah jiko nak didapatkan itu ayam..” Kai meniup-niup daging bakar yang terlihat sudah matang, meniup-niupnya, menyuwir sedikit mencicipi.

            “Hasil buruan kau ternyato enak nian, macam daging babi mudo, hebat betul kau memilih makanan, sulung” Kai berkomentar. Aku tak menjawab, merenung, tatapanku jauh masuk di tengah arang merah yang tengah panas-panasnya.

            Memanggang daging begini, selalu mengingatkanku ketika ayah dan mama masih hidup, kami lumayan sering membakar “Barbeque” di halaman belakang rumah.

            “Kalau aku sudah besar, aku mau jadi koki biar bisa seperti mama, bisa bikin makanan yang enak-enak” Rani berkomentar melihat masakan mama, Rana mengangguk “ Aku mau jadi koki, pastinya bukan koki sembarangan, sambil masak aku akan nyanyi sepanjangan, biar makanannya lebih enak” Rana sudah memegang gagang sendok macam memegang microfon.

            “Bisa becek nantinya masakan kamu, terkena muncratan liur” Rani berkomentar, Rana menjulurkan lidah.

            Adi-Edi tengah sibuk bermain bola dengan ayah dan aku, Adi-Edi bertugas menjaga gawang, dan aku melawan ayah untuk merebut bola. Canda tawa selalu menghangatkan kebersamaan kami. Tercium bau wangi menggoda selera dari masakan mama, yang sudah ditaruh di atas meja.

            “Sulung.... Sulungg... Oi sulung...” Ambong mendorong-dorong bahuku, “ Kau jangan melamun bae, lihatlah daging kau hampir gosong..”

            Aku cepat membalik panggangan.

            “Bahagio tak usah muluk-muluk, bahagio itu yo begini, badan sehat, berkumpul dengan orang-orang suku, bercando-tawo, biso makan hasil buruan yang enak macam ini... Inilah hidup” Kai sudah lahap memakan daging rusa panggang.

            Kai benar, bahagia itu tak usah muluk-muluk, ketika tubuh sehatpun itu sudah nikmat hidup yang luar biasa. Tapi dibalik kebahagiaan itu, hancur sepotong hatiku yang sangat sulit untuk diobati.

Bersambung di halaman berikutnya... SILAHKAN BACA DISINI

Tag : #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7,#6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7 #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7, #6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7,#6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7

0 Response to "#6 Novel yang Memotivasi "HITAM" Episode 7"

Posting Komentar