Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6 - Hai sahabat MOTIVASI, Anda sudah membaca cerita sebelumnya dari novel memotivasi yang berjudul hitam episode 6 sebelumnya? Kalau belum silahkan baca terlebih dahulu disini
Jangan lupa baca juga :
dan
Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6 |
Baiklah tanpa berlama-lama lagi, berikut Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6 :
***
“Kalian tertarik samo senjato ini?” Kai menampilkan senjata melengkung berwarna putih itu, dengan ujungnya yang runcing dan tajam. Kami semua mengangguk, tentu saja suka, dengan senjata itu aku bisa merobek daging para bandit-bandit pengacau kehidupan keluarga kami.
“Senjato ini adalah sebuah batu kristal yang dibentuk macam gading gajah yang runcing dan tajam, setiap pria dari suku kita harus mempunyai senjato ini. Ini salah satu syarat agar kito biso bertahan hidup di tengah hutan. Kalian semuo biso mendapatkannyo kalau sudah biso melewati rintangan-rintangan. Namun belum sekarang, nanti kalau kalian sudah tumbuh dewaso baru biso mencubo rintangan-rintangan tersebut.” Kai meletakkan senjata itu di pinggangnya “Sekarang kalian silahkan memanah lagi...”
Ini terhitung sudah kedua kalinya aku berlatih memanah, anak panahnya tidak terbuat dari besi, melainkan dari bambu, dan tali penarik kuasnya terbuat dari akar-akaran. Alam telah menyediakan semua kebutuhan untuk hidup. Aku masih belum mahir memanah, masih perlu berlatih berkali-kali agar bisa mahir.
Esok harinya, kami berlatih beladiri lagi, kai menyuruh aku bertarung dengan Bolu. Aku gemetaran, meneguk ludah. Beberapa menit berlalu, ternyata Bolu tak hanya besar cakap, kekuatannya memang besar, tentu saja dia menang. Bolu sudah hdiup disini sejak bayi dan sudah terbiasa dengan semua ini, sedangkan aku tak terbiasa dengan hal-hal semacam ini.
Bolu tertawa, “Kau ini memang lemah nian, sulung...”
Kai menghentikan latihan, menyuruh kami untuk istirahat. Aku tersender di pohon, kaki dan tangan terasa sakit sekali ketika di tendang oleh Bolu barusan. Terlihat biru membiru.
“Sini mama obati....” Mama bergegas mengambil obat merah di dalam rumah. Segera mengobati luka di kakiku karena jatuh dari sepeda. Dulu, jangankan lebam seperti ini, luka kecil sedikitpun mamak sudah tak tinggal diam, cepat untuk menolongku.
Mama, ayah... aku rindu kalian. Apakah mama dan ayah ada disini? Bisakah mama dan ayah memberitahu jalan keluar dari sini? Air mataku sudah mengalir di wajah, apakah aku akan hidup selamanya disini?
“Masih sakit, sulung?” Ambong mengagetkan, aku bergegas mengelap air mata.
“Kau tak perlu cemas, sebentar lagi rasa sakitnyo pastilah akan hilang. Biasolah sulung, namonyo pulo anak laki, raso sakit akan membuat kito kuat” Ambong ikut menyenderkan diri di pohon, Bolu dan dua orang lainnya sudah pergi entah kemana.
“Nah, kau istirahatlah dulu, kalau sudah sembuh, baru kito biso bermain seperti kemarin lagi” Ambong memejamkan matanya, aku yang baru mencerna isi pembicaraan berteriak, “Apo? Tidak-tidak, aku tak nak” Ambong terperanjat.
“Oyoyoy apolah kau nih, biaso bae cakapnyo, bising telingoku... Ngomong bae tak nak, kemarin kau lahap nian makan ayamnyo” Ambong mengkorek-korek telinganya dengan jari.
***
“Aku dapat satu...” Ambong memegang ikan mas sebesar 5 jari, lumayan untuk makan siang hari ini. Ambong ternyata banyak keahlian juga, lihatlah, sekarang ia tengah berendam di air, merapat di pinggir sungai, meraba-raba dengan tangan untuk mendapatkan ikan. Aku yang dari tadi ikut berendam, masih saja tak mendapat satupun. Ambong sudah melemparkan ikannya ke darat.
Hei, sepertinya tanganku menyentuh ikan, “Ambongg.... Tanganku barusan menyentuh ikan...” Berteriak kencang.
Ambong menepuk jidat, “Yo ditangkaplah, ngapain pulo mesti berteria-teriak macam babi hutan..”
Aku ragu-ragu, kembali memasukkan tangan, terasa licin, besar. Sepertinya ikan itu sangatlah besar.
Aku mengenggam erat, perut ikan itu sudah dapat, tinggal menariknya keluar, terasa berat. Pastilah ikannya besar sekali, namun susah untuk ditarik, tanah-tanah di pinggir sungai membuat ikannya terjepit.
“Sudah kau dapatkan belum ikannyo?” Ambong berteriak dari arah sana. Aku tak menjawab, sekuat tenaga berusaha mengeluarkan ikat. Ciaatt, dapat.. Aku mengangkat ‘ikan’nya tinggi. Melihat dengan jelas, A-S-T-A-G-A, sontak langsung melemparkannya ke tengah sungai, memekik... “Aa...a..a.. Ular...” Merinding semua bulu kuduk, langsung lompat ke darat. Ambong yang melihat ular hanyut ke arahnya, reflek ikut lompat ke darat, takut dipatuk ular sebesar lengan tersebut. Ambong tertawa kencang mengolokku.
“Oyoyoy besar betul ikan yang kau tangkap, sulung. Kau ahli jugo ternyato..”
Aku menimpuk Ambong pakai ranting.
***
“Kalau sudah dewaso, Cita-cita kau mau jadi apo, Ambong?” Aku memecah lengang saat membakar ikan hasil tangkapan Ambong barusan.
Bicara tentang cita-cita, aku tak tahu lagi dengan itu, sekarang sekolahpun tidak. Dulu, aku ingat betul kalau mama ingin aku menjalankan perusahaan tersebut, sedangkan aku bercita-cita ingin menjadi presiden, terlalu tinggi memang, namun aku ingin menjadi pemimpin, ingin membahagiakan semua orang. Ah, bodohnya aku, mana mungkin aku bisa menjadi presiden, sekarang cita-cita itu mesti aku coret dari daftar keinginan.
“Cita-cita? Apo itu cita-cita?” Ambong menggaruk kepala yang tidak gatal, sebelah tangannya sibuk memegangi tangkai ikan bakar. Aku tak ingin membahas lagi, sudahlah lupakan.
Aroma ikan bakar mulai menusuk hidung, daging ikannya sudah mulai memerah. Suara elang di atas melengking, angin lembut membuat elang tersebut melayang dengan senang dan santai.
Beberapa menit kemudian, ikan sudah matang, ini menjadi makanan terlezatku setelah berminggu-minggu tersesat di hutan, ini beribu-ribu lebih lezat dibading daging babi, aku benci babi.
“Oyoyoy jadi selamo ini selain ayam, ubi, kau jugo suko ikan, sulung?” Ambong menyuwir daging ikan, “Menurut aku lebih enak daging babi ketimbang ikan...”
Aku sudah tidak mengikuti alur pembicaraan Ambong, pandanganku mengarah pada seorang perempuan itu, yang telah menyelamatkan hidupku, gadis kecil itu sepertinya tengah mengumpulkan daun. Aku berdiri, bergegas menghampirinya, tanpa disadari Ambong yang masih berceloteh tanpa henti.
“Sulungg.. Sulungg.. Dimano kau?”
Suara Ambong terdengar sayup-sayup ketika aku sudah jauh darinya, anak gadis berambut lurus itu sedang sendiri, ia sepertinya juga sadar aku ada disitu.
“Hei... Kito ketemu lagi...” Ia tersenyum manis.
“Hai...” Aku tergagap, tak tahu harus bicara apa.
“Ee..Lagi ngumpulin apo?” Aku membuka mulut setelah hening sejenak.
“Ini, aku ngumpulin obat-obatan, caca” Ia masih sibuk memetik dedaunan. Pandangannya masih ke depan, tak menatap aku.
“Erggh... Bukan, namo aku bukan caca” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, bagaimana bisa ia tiba-tiba memanggil aku caca, memangnya siapa itu caca?
Dia sedikit tertawa, tidak berkomentar, membahas hal lain “Memangnya caca sebenarnyo darimano?” Bicaranya lembut. Aku masih bingung, ya sudah, tak apa dia memanggil aku caca. Namun sepertinya dia menyenangkan untuk diajak menjadi teman.
“A.. aku sebenarnyo dari....” Aku berhenti sejenak, kalau dijawab kota, maka dia akan mengira katak lagi.
“A..Aku dari jauh sano...” Aku asal menjawab, asal menunjuk. Beruntung anak perempuan ini tidak banyak berkomentar.
Lengang sejenak.
“Ngomong-ngomong namo kau siapo?” Akhirnya aku bertanya hal itu.
“Aku ... Oli, namo caca sendiri siapo?” Ia bertanya balik, aku menggaruk kepala lagi. Jadi dia bukan memanggil aku dengan nama caca, namun dengan sebutan ‘caca’, bisa kutebak kalau ‘caca’ artinya kakak.
“Sulungg... Namoku sulung..”
Aku mencoba membantu dengan mengambilkan daun. Dia menggeleng, “Yang itu tidak biso, daun yang digunakan untuk obat itu seperti ini..” Dia memperlihatkan daun.
“Oh, jadi namo caca adalah sulung. Bagus nian..”
Aku mengangguk, “Pemberian dari orangtuaku..” Berusaha tersenyum (senyum getir).
“Memang keduo-orangtuo caca ado dimano?”
“Mereko telah meninggal, dibunuh paro bajingan...” Aku menarik kasar daun, geram kalau ingat itu.
Suasana hening sejenak, terdengar suara sayup memanggil “Sulung...Dimano kau?”
“Maaf caca, aku harus segero pulang...” Ia bergegas menyelesaikan pekerjaan, beringsut untuk berlari, terlihat takut sekali.
“Tunggu oli...” Aku menghentikan langkahnya, ia berhenti, menoleh “Ado apo caca..?” Aku garuk kepala, bingung apa yang harus kukatakan, “Kau mau mengajariku untuk memanah...?” Itu ide yang bagus, apalagi aku lihat dia sangat ahli memanah, Bolu bisa dikalahkan kalau aku belajar dengan dia.
Oli mengangguk, “Ioo caca... Lain kali yo...” Dia kembali berlari.
Suara Ambong memanggil makin jelas.
“Oyoyoy rupanyo disini kau sulung, aku sedang asyik cakap-cakap kau ruponyo tak ado lagi, macam mano pulo kau nih” Ambong berkata geram. Aku tidak menghiraukan, menatap punggung anak perempuan itu yang hilang dibalik pepohonan.
BERSAMBUNGGG....
Nantikan kelanjutan novel motivasi yang berjudul "Hitam" berikutnya yah..
Jika anda tak ingin tertinggal update dari blog ini, silahkan berlangganan lewat email pada form sebelah. Oh iya jangan lupa untuk memberikan komentar terkait Novel motivasi yang berjudul hitam ini yah. Tapi jangan melakukan spam.
Jika anda ingin melihat profil penulis, silahkan lihat disini.
Tag : Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6 Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, , Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6, Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6
0 Response to "Kelanjutan Novel Motivasi "hitam" episode 6"
Posting Komentar