Folklore tertulis di cirebon (BERTO PRAMADYA) UTS Kebudayaan


cerita rakyat Daerah Cirebon " Raden Taruhlintang "
Kecantikan Dewi Arum Sari dari kerajaan Cirebon membuat banyak pangeran mencoba untuk mendapatkan hati Dewi Arum Sari. Tetapi Dewi Arum Sari tidak tertarik dengan para Pangeran itu.

Dewi Arum Sari teringat dengan seorang pria yang pernah menolongnya ketika dia diserang oleh perampok. Sayangnya sosok pria itu langsung pergi setelah menolong Dewi Arum Sari tanpa menyebutkan nama dan asal-usulnya. Sosok pria itu selalu membayangi hari-hari Dewi Arum Sari. Walaupun Dewi Arum Sari sangat mencintai sosok pria itu, Dewi Arum Sari tidak pernah mengungkapkan perasaannya itu kepada ayahnya karena Dewi Arum Sari tahu bahwa ayahnya sangat menginginkan mempunyai menantu seorang pangeran. Kecantikan Dewi Arum Sari ternyata tidak serta merta mendatangkan kebahagiaan. Dewi Arum Sari diculik oleh seorang raksasa bernama Wira Gora karena kecantikannya. Tidak ada prajurit istana yang bisa menghadang raksasa Wira Gora. Ayah Dewi Arum Sari sangat sedih atas hilangnya Dewi Arum Sari. Ayah Dewi Arum Sari kemudian membuat sayembara, “Barang siapa yang bisa mengembalikan Dewi Arum Sari, jika wanita akan dijadikan anak, jika pria akan dinikahkan dengan Dewi Arum Sari”. Dengan adanya sayembara itu, orang-orang dari seluruh negeri berusaha untuk membebaskan Dewi Arum Sari. Salah seorang di antara mereka adalah Raden Wira Santika. Raden Wira Santika terkenal dengan kepandaian ilmu bela dirinya. Orang-orang yang ikut perlombaan sebenarnya segan dengan Raden Wira Santika. Tetapi karena tergirur dengan hadiah yang ditawarkan, orang-orang tetap mengikuti sayembara.

Sementara itu di tengah hutan, Wira Gora yang membawa Dewi Arum Sari, bertemu dengan Raden Tarulintang. Raden Tarulintang adalah seorang pemuda yang tinggal di hutan dan berguru kepada Ki Tapak Jagat. Raden Tarulintang yang melihat Dewi Arum Sari di tangan raksasa Wira Gora berusaha untuk menyelamatkan Dewi Arum Sari. Tetapi kesaktian Wira Gora tidak bisa ditandingi oleh Raden Tarulintang. Raden Tarulintang berhasil dibuat babak belur oleh Wira Gora. Wira Gora kembali membawa Dewi Arum Sari pergi ke tempatnya. Raden Tarulintang yang babak belur kemudian ditolong oleh Ki Tapak Jagat.

Sementara itu, Raden Wira Santika dan orang-orang yang ikut sayembara memasuki hutan untuk mencari Dewi Arum Sari. Raden Wira Santika yang ingin mendapatkan Dewi Arum Sari kemudian membuat jebakan untuk peserta sayembara yang lain hingga membuat peserta sayembara yang lain tidak bisa lagi mengikuti sayembara. Hanya tinggal Raden Wira Santika sendiri yang mengikuti sayembara itu.

Raden Tarulintang diobati oleh Ki Tapak Jagat. Ternyata Raden Tarulintang mengenal Dewi Arum Sari. Raden Tarulintang kemudian mempelajari ilmu baru agar bisa mengalahkan Wira Gora. Raden Tarulintang berlatih dengan sungguh-sungguh karena dia merasa jatuh cinta kepada Dewi Arum Sari. Ternyata Raden Tarulintang adalah orang yang pernah menolong Dewi Arum Sari ketika dihadang perampok. Raden Tarulintang juga selalu terbayang-bayang wajah Dewi Arum Sari yang cantik.

Raden Wira Santika yang mencari Wira Gora akhirnya berhasil menemukan Dewi Arum Sari. Saat berhadapan dengan Wira Gora, Wira Gora langsung memberi hormat kepada Raden Wira Santika. Ternyata Raden Wira Santik adalah orang yang menyuruh Wira Gora untuk menculik Dewi Arum Sari. Wira Santika sangat dendam karena dia pernah ditolak oleh Dewi Arum Sari dan ingin memperistri Dewi Arum Sari secara paksa. Tetapi ketika Wira Santika mendengar sayembara yang diumumkan oleh ayah Dewi Arum Sari, Wira Santika ingin memenangkan sayembara itu agar bisa memperistri Dewi Arum Sari secara syah.

Ternyata informasi bahwa Wira Gora merupakan anak buah Wira Santika ini diketahui oleh Dewi Arum Sari. Dewi Arum Sari tidak mau menjadi istri dari Wira Santika. Wira Santika sudah membujuk Dewi Arum Sari dengan berbagai cara, tetapi Dewi Arum Sari tetap tidak mau menikah dengan Wira Santika. Akhirnya Wira Santika membuat Dewi Arum Sari jatuh cinta kepadanya dengan kekuatan dari Wira Gora. Wira Gora mempunyai kekuatan hipnotis yang susah untuk dihilangkan. Akhirnya Dewi Arum Sari mau menjadi istri Wira Santika. Pernikahan akan dilangsungkan di istana ayah Dewi Arum Sari. Wira Santika kemudian membawa Dewi Arum Sari kembali ke kerajaan.

Sementara itu, Raden Tarulintang yang mencari Wira Gora akhirnya berhasil menemukan persembunyian Wira Gora. Setelah terjadi pertarungan seru, Raden Tarulintang berhasil mengalahkan Wira Gora. Tetapi Raden Tarulintang tidak menemukan Dewi Arum Sari. Setelah dipaksa, akhirnya Wira Gora mengatakan bahwa Dewi Arum Sari sudah dibawa oleh Wira Santika ke istana. Tetapi Wira Gora mengatakan bahwa usaha Raden Tarulintang hanya akan sia-sia saja karena Dewi Arum Sari sekarang berada di bawah pengaruh ilmunya. Seberapapun usaha Raden Tarulintang tidak akan bisa berhasil karena ilmu Wira Gora hanya bisa dihilangkan dengan mendapatkan mustika ular. Demi cintanya kepada Dewi Arum Sari, Tarulintang pergi mencari mustika ular.

Mustika ular dikenal oleh rakyat kerajaan Cirebon sebagai mustika sakti. Untuk mendapatkannya pun tidak mudah. Banyak orang yang berusaha mendapatkan mustika ular untuk menambah kesaktiannya, tetapi orang-orang yang mencari mustika ular itu tidak pernah kembali lagi. Ular yang mempunyai mustika itu adalah ular raksasa yang tinggal di sebuah goa di gunung berapi.

Dewi Arum Sari dan Wira Santika tiba di istana. Semua senang menyambut kedatangan Dewi Arum Sari. Tetapi penasehat raja tidak senang dengan Wira Santika. Penasehat itu sudah tahu sepak terjang Wira Santika yang suka menindas rakyat kecil. penasehat khawatir dengan keadaan rakyat jika Wira Santika nanti diangkat menjadi raja. Ayah Dewi Arum Sari yang mengetahui hal itu tidak bisa membatalkan janjinya untuk menikahkan lelaki yang bisa menyelamatkan Dewi Arum Sari. Apalagi Dewi Arum Sari yang sudah dibawah pengaruh ilmu Wira Gora terlihat sangat mencintai Wira Santika. Pernikahan akan dilangsungkan tiga hari lagi.

Sementara itu Raden Tarulintang yang mencari mustika ular akhirnya berhasil menemukan ular yang mempunyai mustika di kepalanya. Ternyata ular raksasa yang mempunyai mustika itu sangat sakti. Raden Tarulintang sempat kewalahan. Tetapi, akhirnya Raden Tarulintang berhasil mendapatkan mustika ular itu. Raden Tarulintang langsung pergi ke istana.

Sudah tiga hari berlalu. Pernikahan antara Wira Santika dan Dewi Arum Sari akan segera digelar. Ayah Dewi Arum Sari terlihat hanya bisa pasrah. Sudah banyak tabib yang diam-diam disuruh untuk menyembuhkan Dewi Arum Sari, tetapi tidak ada satupun yang berhasil. Di saat terakhir pernikahan akan dilangsungkan, Raden Tarulintang datang sambil membawa batu mustika ular. Dewi Arum Sari berhasil disembuhkan. Wira Santika sangat marah dan menyerang Raden Tarulintang. Setelah terjadi perkelahian beberapa waktu lamanya, akhirnya Raden Tarulintang berhasil mengalahkan Wira Santika. Dewi Arum Sari sangat senang melihat Raden Tarulintang yang selama ini selalu diimpikannya. Akhirnya raja menikahkan Raden Tarulintang dan Dewi Arum Sari. Raden Tarulintang kemudian diangkat menjadi patih dengan gelar Dipati Arya Kusumah.

Gerebeg Syawal Ritus Doa Bagi Sunan Gunung Jati


Subuh baru saja beranjak pergi. Pagi masih bening. Mentari menabur cahaya kemilau di musim kemarau ini. Menebar ke pelosok bumi waliyullah Cirebon. Melongok dalem Keraton Kasepuhan pagi itu ada yang menarik. Sebuah ritual masih terpatri. Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, S.E., dan keluarga besarnya, 8 Syawal 1432 Hijriah, seusai menunaikan saum sunah Syawal selama enam hari sejak 2 - 7 Syawal, ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Wargi dalem keraton juga tampak sibuk mempersiapkan hajat religi itu.

"Setiap 8 Syawal pagi kami mentradisikan hajat ketupat dikirim ke Masjid Agung, Masjid Dalem Agung, Kramat Ketandan, serta kepada wargi dan abdi dalem," tutur Sultan Sepuh Arief Natadiningrat.
Tak cuma itu. Esok harinya, Sultan Sepuh berziarah ke makam leluhur dan orang tua di kompleks makam keramat Gunung Jati. Kehadiran Sultan Sepuh di makam keramat di Astana Gunung Sembung itu mengenakan pakaian adat berwarna putih. Mereka disambut hangat oleh kalangan masyarakat yang masih menghormati keluarga keraton.

Sekitar pukul 08:00 WIB, Sultan Sepuh Arief Natadiningrat didampingi Permaisuri R.A. Isye Natadiningrat, E.R. Muhammad Nusantara, R.R. Siti Fatimah N.N., R.A. Irawati Pakuningrat, P.R. Nisfudin Ardiningrat, P.R. Gumelar Soeriadiningrat, dan R.R. Gumiwang Kencananingrat. Turut serta dalam rombongan, selain seluruh wargi Keraton Kasepuhan dari Keraton Cirebon, Mertasinga dan Gebang, juga tamu dari Sekretariat Wakil Presiden dan Konsorsium Pesantren Indonesia, serta Direktur Sinemaart, Heru P.

Tradisi ziarah Keraton Kasepuhan ini disebut Gerebeg Syawal. Yang menarik, peserta ziarah kaum pria diperkenankan berdoa sampai dengan Pintu Sembilan. Sementara keluarga wanita hanya sampai Pintu Pasujudan. Menurut Sultan Sepuh, filosofi Gerebeg Syawal bagi keluarga Keraton Kasepuhan, selain untuk ajang silaturahmi keluarga besar keraton dengan masyarakat di Gunung Jati, juga untuk mentradisikan ziarah sambil mendoakan leluhur.

"Acara pokok berupa tawasul, zikir, dan doa dipimpin oleh Jeneng dan Penghulu Astana Gunung Jati," tutur Sultan Sepuh. Mereka berdoa di makam Sunan Gunung Jati, makam Fatahilah, makam P. Cakrabuana, makam Panembahan Cerbon, makam Sultan Sepuh I-XIII. Untuk Gerebeg Syawal tahun 2011 ini ada penyerahan anugerah pengangkatan seorang bekel sepuh, bekel anom, dan tiga keraman. "Tradisi ini akan terus kami pertahankan dari generasi ke generasi," ujar Sultan Sepuh menandaskan.

Azan Pitu
Hanya ada di Kota Cirebon. Tradisi azan ini dilakukan setiap menjelang shalat Jum'at. Tujuh muazin secara serentak menggemakan azan di depan mihrab Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Kota Cirebon.


Masjid Peninggalan Sunan Gunung Jati itu terletak di sebelah barat Alun-Alun Keraton Kasepuhan. Tradisi azan pitu telah dilakukan secara turun-temurun sejak lima ratus tahun lalu. Tujuh muazin yang melantunkan azan ini merupakan pengurus masjid yang dipilih penghulu masjid. Selama ini, muazin yang ada sekarang, merupakan keturunan dari muazin sebelumnya yang juga sebagai pengurus di masjid tersebut. "Meskipun tak ada persyaratan khusus, sebagian besar muazin merupakan keturunan dari muazin azan pitu sebelumnya," kata salah seorang pengurus Dewan Kesejahteraan Masjid setempat K.H. Hasan Muhyidin.

Tradisi ini sangat unik karena hanya terdapat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan. Karena dikumandangkan tujuh orang, suara azan tentu saja berbeda dengan umumnya azan di masjid atau mushala lainnya yang hanya dikumandangkan oleh seorang muazin. Meski hanya mengumandangkan azan, "koor azan" ini tidak mudah dilakukan. Para muazin harus lebih dulu menyamakan tingkatan suara supaya terdengar rampak dan serempak. Jika ada yang suaranya melemah, akan terdengar dan merusak harmoni dalam kumandang azan. "Oleh karena itu, mereka yang menjadi muazin harus memiliki kedekatan satu sama lain. Kekompakan mereka akan terlihat pada saat azan dikumandangkan," tutur Kyai Hasan Muhyidin.

Tidak diketahui secara pasti munculnya sejarah "azan pitu" ini kecuali dari babad dan tutur tinular masyarakat. Konon "azan pitu" dilakukan untuk mengusir satria jahat Menjangan Wulung yang mampu mengeluarkan racun dari tubuhnya dan banyak membunuh para jemaah. Saat itulah Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati memerintahkan tujuh muazin untuk mengumandangkan azan secara serempak. Seketika gugurlah sinatria jahat tersebut. Sejak itulah "azan pitu" selalu dikumandangkan setiap menjelang shalat Jum'at. "Azan pitu, selain merupakan undangan untuk shalat, juga sebagai simbol perlawanan terhadap kejahatan," tutur Kyai Hasan Muhyidin. Wallahu 'alam bishawab

Muludan
Muludan artinya merayakan mulud yang berasal dari bahasa arab Maulid yang artinya kelahiran. Bulan ini adalah kelahiran Kanjeng Rasulullah Muhammad saw pada tanggal 12 Robi'ul Awal. Bulan Mulud adalah bulan ke tiga dalam perhitungan kalender Islam Jawa. Di bulan ini biasanya ramai terutama di pusat pemerintahan dijaman Kasultanan Cirebon.
Sperti di kraton-kraton lainnya di tanah Jawa, di Cirebon juga diadakan acara yang dinamakan Grebeg Mulud yang lebih dikenal dengan sebutan "Panjang Djimat". Acara ini diadakan oleh tiga Keraton, yaitu Kasepuhan , Kanoman, Kacirebonan pada tepat tgl 12 Mulud. Acara ini cukup cukup menarik perhatian masyarakat terutama masyarakat di sekitar kota Cirebon.

Suasana acara Panjang Djimat seolah-olah melambangkan kehamilan dan kelahiran yang di ekspresikan dengan simbol-simbol. Kelahiran dari Rasulullah Muhammas saw. Prosesi Panjang Djimat diawali dari Keraton yang nantinya diiringi iring-ringan yang membawa Panjang Djimat dan beberapa pusaka dari Bangsal Agung Panembahan ke Langgar Agung pada tepat pukul Sembilan malam dan kemabli pukul sebelas ke Bangsal Agung Panembahan. Di Langgar Agung sebelum kembali ke Bangsal Agung diadakan acara Aysraqalan yang di pimpin oleh Penghulu Keraton. Sega Rasul (Panjang Rasul) kemudian akan di bagikan kepada yang hadir disitu dan biasanya orang-orang akan berebutan untuk mengambil bagian walaupun hanya sedikit, yang mereka yakin mengandung Barakah. Persiapan semua prosesi dimulai dari hari ke limabelas bulan Sura dengan membersihkan beberapa bagian Keraton dan pusaka-pusaka yang di lakukan oleh para abdi dalem (orang-orang yang mengabdi ke keratin tanpa di bayar).
Panjang Djimat sendiri berupa piring lodor besar buatan china yang berdekorasi Kalimat Syahadat bertulisakan huruf Arab yang diyakini dibawa langsung oleh Sunan Gunung Djati. Sebanarnya acara panajng djimat ini sendiri hanya mengingatkan kita bahwa Panjang Djimat berarti; Panjang berarti dawa (panjang) tak berujung, Djimat berarti Si (ji) kang diru (mat). Artinya tulisan Syahadat yang tertulis di piring tersebut supaya selalu kita pegang selamanya sebagai umat muslim hingga akhir hayat.
Iring-iringan itu sendiri pada dasarnya melambangkan moment kelahiran Nabi Muhammad saw. Dianataranya ada 19 bagian penting dalam iring-iringan tersebut. Satu bagian diikuti oleh bagian lainnya dan masing-masing bagian ada seorang yang membawa lilin-lilin. Pertama seorang pria yang membawa sebatang lilin di tangannya yang berperan sebagai pelayan (Khadam) berjalan memberikan cahaya ke bagian kedua diikuti dua orang pria. Salah seorang pria membawa sesuatu yang menggambarkan sosok Abu Thalib (paman Rasul) dan pria kedua menggambarkan Abdul Al0Muthalib (kakek Rasul). Mereka berjalan di malam hari untuk di berikan ke midwife. Selanjutnya ada salah satu grup pria yang membawa dekorasi yang di sebut Manggaran, Nagan dan Jantungan yang melambangkan kebaikan Abdul Al-Muthalib, Seorang wanita membawa Bokor Kuningan yang terisi dengan koin-koin didalamnya yang melambangkan sifat ibu Rasul, selanjutnya diikuti seorang wanita yang membawa nampan yang terdiri dari botol berisi Lenga Mawar (distilasi bunga mawar) yang melambangkan Air Ketuban. Sebuah nampan yangh terdiri dari kembaang Goyah, Obat tradisonal melambangkan Plasenta. Penghulu Keraton bertindak seolah-olah memotong ari-ari.
Selanjutnya inti dari Panjang Djimat tersbut terdiri dari dua belas acara yang melambangkan 12 Rabi'ul Awwal atau Mulud yang merupakan hari kelahiran Rasulullah yang misinya membawa Kalimat Syahadat. Masing-masing piring dibawa oelh dua orang yang di iringi dua orang pengawal, semua yang membawa piring-piring tersebut di biasa dipanggil Kaum Masjid Agung, Panjang Djimat adalah tujuh angka penting. Kalimah Syahadat membawa setiap orang untuk menuntun ke tujuh tingkatan atau di Cirebon dikenal dengan Martabat Pitu yang merupakan doktrin dari tarek Syattariyah. Kembali ke prosesi ada dua orang pria yang membawa sejenis termos yang berisi bir untuk mengumpulkan darah setelah melahirkan, diikuti dua orang pria yang masing-masing membawa nampan dengan botol yang berisi jenis bir yang lain yang melambangkan kotoran saat melahirkan. Sebuah pendil yang berisi Sega Wuduk (nasi uduk) di bawa oleh seorang pria yang melambangkan betapa susahnya saaat melahirkan. Selanjtnya diikuti dengan Nasi Tumpeng dengan bekakak ayam yang di sebut dengan Sega Jeneng yang melambangkan Syukuran (Selametan) lahirnya seorang bayi. Selametan pada saat di berikan nya nama untuk seorang bayi yang biasanya pada saat ari-ari sang bayi mongering dan lepas (Puput). Tiga bagian terakhir pertama adalah delapan Cepon (wadah yang terbuat dari bambu) yang melambangkan delapan sifat Rasul. Empat sifat pertama adalah Sidiq (Cerdas), Amanah (Dipercaya), Tabligh (Menyampaikan), Fathonah(pintar), kempat sifat ini disebut sifat Wajib yang dimiliki Rasul. Dan keempat lainnya adalah sifat yang tidak dimiliki oleh Rasul yaitu Kidzib, Khianat, Kitman dan Baladah. Masing-masing Cepon penuh dengan beras yang menandakan Kemakmuran dan Yang Maha Kuasa memberikan naungan keseluruh alam (Rahmatan lil-'Alamin). Selanjutnya diikuti empat buah Meron atau Tenong (wadah besar bebentuk bundar) menandakan manusia terdiri dari empat elemen, Tanah, Air, Udara dan Api. Ada sumber yang mengatakan bahwa keempatnya adalah empat sahabat kalifah Abu Bakr, Umar, Ustman dan Ali. Selanjutnya diakhiri dengan empat Dongdang (wadah besar) yang melambangkan spiritual manusia yang terdiri dari Ruh, Kalam, Nur dan Syuhud yang nenandakan Keagungan Tuhan. Ada juga yang mengatakan keempat-empatnya adalah melambangkan empat Madzhab: Maliki, Syafi'I, Hanafi dan Hanbali.
Beberapa daerah juga merayakan acara Muludan ini dengan prosesi yang berbeda, akan tetapi biasanya acara membersihkan pusaka yang disaksikan oleh khalayak ramai seperti di Astana Gunung Djati pada tanggal 11, di Desa Panguragan pada tanggal 12, di desa Tuk pada tanggal 17 dan desa Trusmi pada tanggal 25 di bulan Maulud ini.

Panjang Djimat
UPACARA pelal Panjang Jimat sendiri merupakan puncak dari seluruh rangkaian berbagai acara tradisi yang berlangsung di Keraton Kesultanan Kasepuhan, Keraton Kesultanan Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Pelal adalah kata dalam bahasa Jawa Cirebon yang berarti ujung atau akhir.
Seperti daerah lainnya di Pulau Jawa yang memiliki akar budaya tradisi di keraton, peringatan Muludan di Cirebon juga digelar secara meriah sejak sebulan sebelumnya dalam bentuk pesta rakyat dan pasar malam di alun-alun setiap keraton.

PUNCAK dari seluruh rangkaian acara tersebut adalah upacara pelal Panjang Jimat yang diselenggarakan langsung oleh kerabat utama keraton dan dipimpin oleh sultan masing- masing.
Bagi yang pertama kali mendengar mengenai ritual Panjang Jimat ini pasti menduga upacara tersebut melibatkan sebuah jimat atau pusaka milik keraton yang ukurannya panjang. Mungkin senjata sejenis tombak atau semacamnya yang terlintas di kepala.
Padahal, sesungguhnya ritual Panjang Jimat sama sekali tidak berhubungan dengan pusaka atau jimat apa pun, apalagi yang berbentuk gaman atau senjata.
Dari seluruh prosesi iring- iringan ritual tersebut, tidak satu pun perangkat upacaranya berupa senjata pusaka, melainkan berbagai jenis makanan, makanan kecil, dan minuman.
Penguasa Kesultanan Kasepuhan, Sultan Sepuh XIII Maulana Pakuningrat, menjelaskan, nama Panjang Jimat terdiri atas dua kata, yakni "panjang" yang artinya terus-menerus tanpa terputus dan "jimat" yang merupakan akronim dalam bahasa Jawa: siji kang dirumat (satu yang dipelihara).Menurut Sultan Sepuh, jimat yang dimaksud adalah dua kalimat syahadat yang menjadi pegangan utama umat Muslim sedunia. "Jadi, makna Panjang Jimat adalah pesan kepada setiap umat Islam untuk selalu berpegang kepada dua kalimat syahadat selamanya, terus-menerus tanpa terputus," papar Sultan Maulana Pakuningrat.
PELAKSANAAN puncak upacara Panjang Jimat sendiri dimulai sekitar pukul 20.00 dan dilangsungkan di Bangsal Panembahan dan Bangsal Prabayaksa, dua ruang utama Keraton Kasepuhan.
Di Bangsal Panembahan yang merupakan ruangan paling sakral di keraton, para ulama dan kyai berdoa. Sementara Bangsal Prabayaksa adalah tempat Sultan dan seluruh keluarganya serta para tamu undangan mengikuti upacara.
Di Bangsal Prabayaksa itu, Sultan Sepuh menyerahkan Payung Agung Kesultanan Kasepuhan kepada Putra Mahkota Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat sebagai simbol penyerahan wewenang dan tanggung jawab untuk memimpin seluruh prosesi iring-iringan upacara, dari Bangsal Prabayaksa menuju Langgar Agung di halaman depan keraton.
Setelah payung kebesaran diserahkan, satu demi satu perlengkapan upacara dikeluarkan dari Keputren dan Bangsal Pringgadani untuk disemayamkan sejenak di Bangsal Prabayaksa sebelum dibawa dalam sebuah prosesi menuju Langgar Agung.
Di Keraton Kasepuhan, prosesi Panjang Jimat terdiri atas sembilan kelompok, yang masing-masing memiliki makna tersendiri berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Kelompok pertama terdiri atas para punggawa dan pengawal keraton yang membawa obor serta payung.
Kelompok pertama ini menggambarkan kesiapan Abdul Mutholib, kakek Nabi Muhammad SAW, yang siap siaga menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. Obor melambangkan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada malam hari.

Kelompok kedua adalah kelompok perangkat upacara yang membawa manggaran, nagan, dan jantungan (semacam hiasan upacara terbuat dari logam berwarna keemasan, berbentuk seperti manggar atau tangkai bunga kelapa, ular naga, dan jantung pisang).
Perangkat upacara tersebut menggambarkan kebesaran dan keagungan bayi yang hendak lahir. Dalam kelompok kedua juga terdapat pembawa air mawar dan pasatan (sedekah) yang melambangkan kelahiran seorang bayi selalu didahului pecahnya air ketuban dan disyukuri dengan memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Kelompok ketiga terdiri atas Putra Mahkota yang mewakili sultan dengan dinaungi Payung Agung Keraton dan diiringi para sesepuh keraton.
Kelompok ini menyimbolkan bayi yang baru lahir dan kelak akan menjadi seorang pemimpin besar.

Selanjutnya disusul kelompok keempat yang dipimpin oleh Kyai Penghulu dan rombongan pembawa kembang goyang yang melambangkan keluarnya ari-ari sebagai pengiring kelahiran dan boreh atau sejenis jamu yang diberikan kepada ibu yang baru melahirkan guna menjaga kesehatannya. Kelompok ini juga diiringi tujuh pembawa nasi rasul panjang jimat, yaitu nasi yang diwadahi dalam bakul-bakul dan ditutupi menggunakan kain mori putih. Bilangan tujuh melambangkan jumlah hari dalam seminggu.
Kelompok keempat disusul kelompok kelima yang membawa sepasang guci yang berisi minuman serbat. Minuman tersebut melambangkan darah sebagai tanda bahwa kelahiran telah usai.

Di belakangnya menyusul kelompok keenam yang membawa empat baki berisi botol-botol minuman serbat.
Angka empat melambangkan bahwa manusia terdiri atas empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan angin.

Kelompok ketujuh terdiri atas pembawa enam wadah masing-masing berisi nasi uduk (nasi berasa gurih), tumpeng jeneng, dan nasi putih.
Rombongan ini melambangkan bahwa bayi yang baru lahir perlu diberi nama (jeneng) yang baik dengan harapan kelak akan menjadi orang yang berguna.

Kelompok kedelapan terdiri atas empat buah meron (semacam baki besar yang dipikul) berisi bermacam-macam makanan hidangan untuk peserta Asrakalan di Langgar Agung, disusul empat dongdang (pikulan besar berbentuk rumah- rumahan) yang juga berisi berbagai macam lauk-pauk dan makanan kecil untuk hidangan peserta Asrakalan.
Kelompok terakhir atau kesembilan adalah rombongan para sentana wargi (kerabat keraton), nayaka (tetua atau sesepuh), dan para undangan yang ingin mengikuti langsung upacara Asrakalan di Langgar Agung.

Upacara Asrakalan adalah rangkaian terakhir dari upacara Panjang Jimat. Asrakalan dilaksanakan di dalam Langgar Agung dan berisi pembacaan Kitab Barzanzi dan membaca Shalawat Nabi. Asrakalan dilangsungkan sampai tengah malam. Setelah usai, rombongan kembali membawa perangkat upacara ke dalam keraton untuk disimpan dan siap digunakan lagi tahun depan

Legenda Manusia Macan Cirebon

Sejarah adanya pasukan ini bermula ketika Sunan Gunung Jati sebagai pendiri keraton Cirebon, diberikan hadiah dari kakeknya yang penguasa Pajajaran (Prabu Siliwangi). Hadiah itu berupa sepasukan khusus Pajajaran yang terdiri atas 12 orang yang dapat beralih rupa sebagai macan. Sebagaimana pasukan pengamanan, metoda penggunaan Ring 1, 2 dst juga berlaku.

Masing-masing ring terdiri atas 4 orang yang meliputi arah mata angin dengan titik pusatnya Kraton Pakungwati. Semakin dekat dengan pusat, semakin tinggi ilmunya. Istilah yang digunakan adalah KW (tidak tau apa maksudnya). Ada KW 1, KW 2 dst. Kabarnya satu KW pernah diberikan sultan Cirebon kepada Sultan Brunei, Hasanal Bolkiah karena memang masih ada hubungan trah.

Tidak bisa diperkirakan berapa jumlah tepatnya pasukan macan ini yang tersisa, bisa 3, 5 atau 7 orang. Yang pasti di bawah dari 10 orang. Berkurangnya pasukan ini dikarenakan beberapa hal, pertama adalah tidak mempunyai keturunan karena pasukan ini bersifat turun temurun. Kedua yang bersangkutan meninggal dengan membawa pakaian simbol pasukan macan yang disebut “Kantong Macan”. Pernah satu kejadian seekor macan di kepung dan diburu masyarakat kampung yang tidak mengerti, macan yang diburu kabur menghindar, hingga terperosok di sebuah sumur tua. sewaktu dilihat ke sumur ternyata bukan seekor macan, melainkan seorang manusia yang terkapar. Pada saat hendak diangkat orang tersebut sirna.

0 Response to "Folklore tertulis di cirebon (BERTO PRAMADYA) UTS Kebudayaan"

Posting Komentar