Cirebon, Kota Ziarah Kaya Warna
Profil Jawa Barat:
Jawa Barat memiliki potensi pariwisata yang begitu beragam, baik dari sisi produk wisata maupun pasar wisatawan. Dengan alam dan budaya yang dimiliki, Jawa Barat menawarkan berbagai daya tarik wisata. Potensi pasar wisatawan Jawa Barat juga tidak kalah besarnya. Kedekatan Jawa Barat dengan provinsi-provinsi berpenduduk banyak dan sudah berkembang menjadikan Jawa Barat kaya akan sumber pasar wisatawan. Produk wisata Jawa Barat memiliki keragaman, baik daya tarik wisata maupun fasilitas penunjang yang didukung jaringan transportasi dan infrastruktur yang terus berkembang sehingga mempermudah aksesibilitas dan kenyamanan dalam berwisata. Daya tarik wisata Jawa Barat terdiri dari daya tarik yang bersifat tangible (berwujud), seperti daya tarik wisata gunung, rimba, laut, pantai, sungai dan museum. Yang bersifat intangible (tidak terwujud), seperti sejarah, seni, budaya masyarakat tradisional, maupun events (peristiwa pariwisata). Masyarakat Jawa Barat yang agamis dan memiliki tatanan serta berbagai ciri warisan budaya khas dan nilai-nilai tradisional yang masih tetap dipertahankan merupakan potensi yang sangat besar bagi pengembangan pariwisata Jawa Barat. Kampung-kampung tradisional, tempat hidup dan tinggalnya masyarakat tradisional Jawa Barat, juga merupakan daya tarik wisata yang tidak kalah menariknya. Perkampungan tradisional di Jawa Barat yang tersebar di 7 (tujuh) Kabupaten mempunyai budaya tradisional yang khas sehingga memperkaya keragaman daya tarik wisata Jawa Barat.
. Kekayaan sejarah Jawa Barat beserta peninggalannya yang begitu beragam dan khas merupakan potensi yang besar bagi pariwisata Jawa Barat. Pengemasan cerita sejarah melalui interpretasi yang baik dan menarik dapat meningkatkan nilai tambah daya tarik wisata sejarah Jawa Barat dan tentu saja merupakan potensi untuk menjaring wisatawan dalam jumlah yang lebih banyak. Itulah sekilas mengenai profil Jawa barat, tetapi pembahasan kita kali ini akan mengupas kota Cirebon lebih dalam. Selain dari ibu kota jawa barat sendiri, kota Bandung mempunyai sejarah, kebudayaan yang sangt menarik untu dibahas. Itu sebabnya saya memilih Kota Bandung sebagai pembahasan yang akan saya jelaskan berikut ini. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.
Kota Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Kota ini berada di pesisir utara Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya.
Cirebon dikenal dengan nama Kota Udang dan Kota Wali. Selain itu kota Cirebon disebut juga sebagai Caruban Nagari (penanda gunung Ceremai) dan Grage (Negeri Gede dalam bahasa jawa cirebon berarti kerajaan yang luas). Sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak beberapa abad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa.
Nama Cirebon berasal dari kata Caruban, dalam Bahasa Jawa yang berarti campuran (karena budaya Cirebon merupakan campuran dari budaya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya Arab) atau bisa juga berasal dari kata Ci yang artinya air atau sungai dan Rebon yang artinya udang dalam Bahasa Sunda (karena udang merupakan salah satu hasil perikanan Kota Cirebon).
Menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut Jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Pajajaran). Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.
kemudian pada tanggal 7 Januari 1681 Cirebon secara politik dan ekonomi berada dalam pengawasan pihak VOC, setelah penguasa Cirebon waktu itu menanda tangani perjanjian dengan VOC.
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100 ha dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Kemudian pada tahun 1942, Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 ha dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kotapraja dengan luas 3.300 ha, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 ha.
Pada tanggal 15 April 2011, Kota Cirebon diguncang dengan bom bunuh diri. Lokasi pengeboman berada di masjid Mapolresta Cirebon. Pada peristiwa tersebut, pelaku bom bunuh diri tewas seketika, dan terdapat beberapa orang luka parah.
Kota ini juga memiliki beberapa kerajinan tangan di antaranya Topeng Cirebon, Lukisan Kaca, Bunga Rotan dan Batik.
SAMPAI beberapa waktu lalu, orang mengenal Cirebon sebagai Kota Udang. Sebutan ini sebenarnya bukan pujian. Bahkan tak lagi relevan mengingat produksi udang, dan perikanan pada umumnya, boleh dikata sudah mendekati nol sekarang. Lebih dari sekadar produsen udang, terutama dulu, Cirebon adalah kota terpenting dalam sejarah Islam di Jawa, yang membuatnya kaya akan daya tarik bagi wisatawan lokal.
Bangunan bersejarah berserakan di sini, termasuk tiga keraton dan satu kompleks makam besar—Makam Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Sembilan, yang juga memiliki nilai spiritual dan menjadikan Cirebon pusat ziarah terpenting di Jawa.
Cirebon kota kecil yang hanya berjarak tiga jam perjalanan berkereta api dari Jakarta, atau empat jam bermobil. Namun, memiliki corak budaya yang kaya karena menjadi persimpangan lalulintas niaga sejak dulu. Persis terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, baik bahasa maupun budayanya agak khas: ”Tidak Jawa, Tidak Sunda” atau ”Ya Jawa, Ya Sunda”.
Lebih dari itu, sebagai kota pelabuhan tua, Cirebon juga menerima pengaruh dari negeri dan kebudayaan yang luas dan jauh, termasuk dari China. Seperti Semarang dan Gresik, Cirebon adalah salah satu perwujudan budaya Sino-Jawa yang menonjol, baik dalam arsitektur maupun jenis makanan.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid agung, sampai tempat pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal China. Ini semua mewakili watak Cirebon sebagai sebuah kota yang kosmopolit dengan warganya yang terbuka untuk siap menerima pengaruh manapun.
Sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara Jawa. Kota ini menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang meluas dan mendalam. Cirebon menjadi tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan bahkan antarbangsa.
Menurut Pustaka Jawadwipa, pada 1447, kaum pendatang yang kemudian menjadi penduduk Cirebon saat itu, berjumlah sekira 346 orang mencakup sembilan rumpun etnis, seperti Sunda, Jawa, Sumatera, Semenanjung, India, Parsi, Syam (Siria), Arab, dan China. Perkawinan budaya dan sinkrentisme menjadi keniscayaan tak terelakkan.
Keragaman etnis ini masih ada jejaknya hingga kini. Di Dukuh Kebon Pesisir, dekat pelabuhan, berbagai kelompok etnis tersebut di atas berbaur satu sama lain, saling melengkapi. Jejak fisiknya dapat kita lihat dalam perpaduan pengaruh Hindu-Budha, Cina, Islam dan Barat—di samping tetap adanya budaya leluhur—menyatu yang kemudian membentuk struktur peradaban yang khas.
Cirebon sendiri memang berasal kata dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang mengatakan nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Ada pula kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai) karena berada di muara sungai, kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon. Yang lain lagi mengatakan Cirebon berasal dari kata yang bermakna sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil).
Cirebon menerima pengaruh manapun dan meramunya menjadi budaya yang unik, sekaligus kaya warna. Identitas yang campur-aduk itu kemudian tercermin dalam berbagai produk budaya, dari kain batik, seni boga, seni pertunjukan, hingga bangunan-bangunan ibadah Dari makanan hingga kerajinan, dari tari hingga tradisi, dari arsitektur hingga spiritualitas, Cirebon tidak terkalahkan dari kota-kota lain di Jawa dalam hal kekayaannya.
Landmark dan bangunan lama, bahkan termasuk keraton dan makam penting, tidak cukup terawat. Namun, nilai kesejarahannya masih bisa dirasakan. Ada tiga keraton di kota ini: Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang merupakan buah dari konflik dan intrik yang diciptakan Kolonial Belanda pada Abad ke-18. Wisatawan masih banyak berkunjung ke warisan monarki Islam ini, terutama ke Kasepuhan dan Kanoman, meski kondisinya makin muram.
Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Keraton ini dibangun pada 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Kasepuhan.
Keraton ini memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Sejak 1942, kereta tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan. Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.
Keraton Kanoman berumur lebih muda. Keraton ini menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan, bernama Paksi Naga Liman.
Tapi, daya tarik utama bagi para wisatawan penziarah adalah sejumlah makam terkenal di kota ini. Yang paling utama: Kompleks Makam Sunan Gunung Jati, yang berisi tak hanya jasad Sang Sunan tapi juga jasad Pangeran Fatahilah, panglima yang menaklukkan Batavia.
Di samping makam itu, Cirebon memiliki Makam Nyi Mas Gandasari, seorang murid Sunan Gunung Jati dalam penyebaran agama Islam; Makam Syekh Magelung Sakti, pendekar yang disegani; serta Makam Talun, atau Mbah Kuwu Cirebon, pimpinan tertinggi di wilayah Cirebon.
Namun, atraksi arsitektur utama Cirebon ada pada dua masjid kunonya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa, yang berada dalam kompleks Keraton Kasepuhan, termasuk mahakarya dalam bangunan kayu dengan ukiran yang mencengangkan. Masjid itu berdiri pada 1549.
Masjid lain tak kurang nilai sejarahnya: Masjid Panjunan. Ukurannya kecil namun memukau. Inilah masjid tertua di Cirebon, dan mungkin salah satu yang tertua di Jawa, yang menjadikannya unik. Berdiri di sebuah pojok bagian kota tua Cirebon, masjid ini menyimpan sejarah panjang. Dia didirikan pada 1453, lebih tua dari Masjid Agung Demak (1477), Masjid Menara Kudus (1530), dan Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon sendiri (1549). Masjid tertua kelima di Indonesia.
Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok di masjid ini sehingga dia juga sering disebut Majid Merah. Bangunan bata ini merupakan warisan arsitektur kuno Hindu-Majapahit.
Masjid ini terletak di kampung Panjunan, kampung pembuat jun atau keramik proselen dan didirikan oleh Pangeran Panjunan yang merupakan murid Sunan Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali, penyebar Islam di Jawa. Menurut risalah kuno Babad Tjerbon, nama asli Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman. Dia memimpin sekelompok pendatang Arab dari Baghdad. Sang pangeran dan keluarganya mencari nafkah dari membuat keramik. Sampai sekarang anak keturunannya masih memelihara tradisi kerajinan keramik itu, meski kini lebih untuk tujuan spiritual ketimbang komersial.
Meski nuansa Arab tak terelakkan bila dilihat tradisi minum gahwa, ornamen masjid ini, seperti bangunan kuno lain di Cirebon, sangat kental dipengaruhi oleh seni tradisional Tionghoa. Piring-piring porselen asli Tiongkok menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon dan bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di kota itu.
Sebuah legenda menyebutkan, keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Tak jauh dari masjid itu terdapat kuil Buddha kuno--Vihara Dewi Welas Asih, yang didominasi warna merah juga.
Seperti kota Cirebon sendiri, Masjid Panjunan mewakili sikap kosmopolit hasil persilangan budaya sejak dahulu kala. Simbol lain dari percampuran budaya ini juga nampak dalam ornamen kereta Paksi Nagaliman. Kereta kebesaran kesultanan Cirebon di masa lampau itu berbentuk hewan bersayap, berkepala naga, dan berbelalai gajah (ganesa). Hal itu menyiratkan makna bahwa budaya Cirebon terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni kebudayaan Cina (naga), kebudayaan Hindu (gajah), dan kebudayaan Islam (liman).
Pengaruh Tionghoa sebenarnya tidak hanya menancap dalam arsitektur, melainkan juga dalam seni topeng yang karakternya mirip tokoh Opera Peking; dalam seni batik Trusmi; serta dalam seni lukis kaca yang masih hidup sampai sekarang.
Cirebon mewakili sejarah pertemuan Islam-Tionghoa yang sangat mewarnai kota-kota pesisir utara Jawa, dari Banten hingga Gresik, kota-kota yang pernah dikunjungi Cheng Ho, seorang panglima dan pengelana muslim dari Dinasti Ming.
Cheng Ho tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Indonesia yang dulu Nusantara. Budaya Sino-Jawa membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan Tionghoa Islam lain dengan Jawa.
Pada 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring bertuliskan ayat Kursi yang kabarnya masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pengaruh China juga terasa baik dalam makanan serta seni rupa. Bagi pecinta makanan, Cirebon juga menantang sebagai tujuan wisata kuliner. Nasi Jamblang, Nasi Lengko dan Empal Gentong merupakan jenis makanan populer dan khas kota ini. Nasi jamblang terdiri atas nasi yang dibungkus daun jati dilengkapi aneka lauk seperti paru, daging, tempe, tahu disertai dengan sambel khas. Nasi Lengko lebih sederhana: nasi putih campur tempe, tahu, mentimun toge dan daun kucai yang ditaburi bawang goreng dan kecap dan bumbu kacang. Empal Gentong mirip soto pada umumnya namun dengan citarasa khas: berkuah santan dipadukan dengan daging.
Cirebon juga memiliki minuman yang khas seperti tjanpolay, sejenis minuman dari sirup yang terkenal sejak dulu, dan teh poci, teh yang disuguhkan dengan teko terbuat dari tanah liat (poci).
Bersaing dengan Yogyakarta dan Solo, Cirebon juga terkenal akan seni batiknya, terutama Batik Trusmi yang dibuat di Desa Trusmi, 15 km dari pusat kota, dalam warisan turun-temurun. Batik Trusmi mempunyai motif yang khas, yaitu gambar kecil dengan warna yang tidak mencolok. Warna dasar yang banyak digunakan adalah kuning gading, coklat muda, abu-abu, hitam, dan hijau. Pola batiknya dikenal dengan nama Megamendung, Wadas Singa, Naga Semirang, dan Taman Arum, semuanya mengandung pengaruh Cina yang menonjol.
Pengaruh yang sama juga sangat kental pada seni lukis kaca, yang masih bertahan hingga kini dan menjadi salah satu kekayaan terpenting seni rupa Cirebon. Para pelukis kaca mewarisi seni kaligrafi yang dimulai sejak zaman Wali Sembilan.
LETAK geografis Cirebon yang berada di persimpangan jalan dari berbagai jurusan, menyebabkan kebudayaan di Kota Pesisir ini terkesan tindih-menindih. Salah satu yang amat membekas yakni pengaruh kebudayaan Hindu, baik yang tumbuh di Jawa (Hindu-Jawa) maupun di Sunda (Hindu-Sunda). Indikasi ini misalnya terlihat dari lambang Keraton berupa Harimau putih, yang menurut catatan sejarah merupakan peninggalan dari Kerajaan Hindu-Sunda.
Kalau kita cermati dinamika yang terjadi dalam kebudayaan (baca: kesenian) Cirebon, akan tampak perwujudan persembahan rakyat pada cara kehidupan keagamaan. Sejarah mencatat, sebelum kebudayaan Hindu masuk penduduk Pulau Jawa — termasuk juga Cirebon — memuja segala manifestasi alam yang mereka lihat sekitarnya seperti tumbuh-tumbuhan, batu karang dan laut, juga sungai, gunung, angin dan topan yang sekali-kali mengganggu kehidupan mereka.
Mereka percaya bahwa segala manifestasi alam ini mempunyai roh sendiri, umpamanya roh nenek moyang mereka yang selalu hadir dan mengamati mereka, yang menjadi penjaga kehidupan dan kesehatan. Dengan demikian, bagi orang-orang pra — Hindu semua kesenian bahkan dekorasi pada benda-benda fungsional merupakan perwujudan kepercayaan agama.
Makna spiritual
Benda-benda kesenian pada masa dulu dipandang memiliki nilai spiritual tertentu atau memiliki makna keagamaan yang tinggi. Lebih dari itu, benda-benda kesenian tersebut sudah diposisikan terhormat bahkan sebelum mewujud sebagai benda tertentu. Dengan kalimat lain, dari bahan dan tehnik pembuatannya pun sudah mempunyai makna spiritual.
Lambang-lambang khas yang dipakai untuk menghiasi benda kesenian tersebut mempunyai makna keagamaan pula. Pola-pola abstrak seperti bentuk swastika atau wajik, begitu juga bentuk-bentuk naturalis seperti ragam hias pohon hayat dan bentuk batu karang yang bergaya khas yang dinamakan Wadas, merupakan semua lambang kehidupan kerohanian dan organis dan berasal dari masa sebelum kebudayaan Hindu masuk di pulau Jawa.
Eksistensi kesenian — berikut benda-benda seninya — ternyata banyak bermanfaat dalam proses penyebaran agama Islam. Wali Sanga misalnya, para Wali ini menggunakan jalur-jalur kesenian untuk mencapai hati nurani rakyat.
Hal ini tampak pada strategi yang dilakukan Sunan Kalijaga. Beliau menyesuaikan bentuk-bentuk kesenian tradisional kepada kebutuhan rohaniah dan artistik dari masyarakat muslim baru, dan menyatukannya dengan lambang dan ungkapan baru.
Musik, lagu, dan tari, seni lukis, seni pahat dan arsitektur telah mencapai dimensi-dimensi baru. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa salah satu Masjid tertua di Jawa yaitu Masjid Agung Cirebon, bentuknya masih berdasarkan peraturan-peraturan bangunan Jawa Kuno. Begitu juga tidaklah mengherankan bahwa pada perayaan Maulid Nabi, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha masih terdengar suara gamelan sekaten, yang berasal dari masa pra-Islam, yang telah mendapat nama baru, yang mungkin berakar dalam kata hahadati.
Gambaran menjadi lebih jelas lagi kalau mengamati pola dan ragam hias serta desain Cirebon serta mengungkapkan suatu sintesa yang menarik dari berbagai bentuk kebudayaan dan filsafat.
Di zaman Hindu patung dan lukisan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kuil, dan melukiskan wujud agama serta lambang kepercayaan Hindu. Pola-pola semacam ini sekarang dapat dilihat antara lain dalam batik Cirebon dan juga dalam segala corak kesenian Cirebon yang dipengaruhi oleh persentuhan dengan kebudayaan asing lainnya, yang lambat laun diserap dalam kesenian Cirebon Hindu.
Kedatangan agama Islam dengan pola-pola baru dan anjuran agar tidak melukiskan segala bentuk manusiawi dan hewani, justru memperkaya imajinasi para seniman zaman dulu. Anjuran ini tidak selalu ditaati, tradisi kuno dipertahankan dan diperkaya dengan pola yang berciri Timur Tengah, Persia dan India. Sebagai contoh dapat disebut desain Singa Putih, suatu ragam hias yang berkali-kali muncul kembali, yang sebetulnya berasal dari harimau putih, tetapi yang lambat laun berubah menjadi Singa Persia, atau malah Singa Tiongkok.
Ragam hias
Bangunan bersejarah berserakan di sini, termasuk tiga keraton dan satu kompleks makam besar—Makam Sunan Gunung Jati, salah satu dari Wali Sembilan, yang juga memiliki nilai spiritual dan menjadikan Cirebon pusat ziarah terpenting di Jawa.
Cirebon kota kecil yang hanya berjarak tiga jam perjalanan berkereta api dari Jakarta, atau empat jam bermobil. Namun, memiliki corak budaya yang kaya karena menjadi persimpangan lalulintas niaga sejak dulu. Persis terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, baik bahasa maupun budayanya agak khas: ”Tidak Jawa, Tidak Sunda” atau ”Ya Jawa, Ya Sunda”.
Lebih dari itu, sebagai kota pelabuhan tua, Cirebon juga menerima pengaruh dari negeri dan kebudayaan yang luas dan jauh, termasuk dari China. Seperti Semarang dan Gresik, Cirebon adalah salah satu perwujudan budaya Sino-Jawa yang menonjol, baik dalam arsitektur maupun jenis makanan.
Semua situs bersejarah di Cirebon, dari ketiga keraton, kompleks makam Sunan Gunung Jati, masjid-masjid agung, sampai tempat pemandian Sunyaragi memiliki ornamen utama berupa porselen asal China. Ini semua mewakili watak Cirebon sebagai sebuah kota yang kosmopolit dengan warganya yang terbuka untuk siap menerima pengaruh manapun.
Sebagai daerah pesisir, Cirebon sejak sebelum dan sesudah masuknya pengaruh Islam merupakan pelabuhan yang penting di pesisir Utara Jawa. Kota ini menjadi sangat terbuka bagi interaksi budaya yang meluas dan mendalam. Cirebon menjadi tempat bertemunya berbagai suku, agama, dan bahkan antarbangsa.
Menurut Pustaka Jawadwipa, pada 1447, kaum pendatang yang kemudian menjadi penduduk Cirebon saat itu, berjumlah sekira 346 orang mencakup sembilan rumpun etnis, seperti Sunda, Jawa, Sumatera, Semenanjung, India, Parsi, Syam (Siria), Arab, dan China. Perkawinan budaya dan sinkrentisme menjadi keniscayaan tak terelakkan.
Keragaman etnis ini masih ada jejaknya hingga kini. Di Dukuh Kebon Pesisir, dekat pelabuhan, berbagai kelompok etnis tersebut di atas berbaur satu sama lain, saling melengkapi. Jejak fisiknya dapat kita lihat dalam perpaduan pengaruh Hindu-Budha, Cina, Islam dan Barat—di samping tetap adanya budaya leluhur—menyatu yang kemudian membentuk struktur peradaban yang khas.
Cirebon sendiri memang berasal kata dari Caruban atau tempat pertemuan atau persimpangan jalan. Ada juga yang mengatakan nama itu berasal dari kata carub dalam bahasa Jawa yang berarti campuran. Ada pula kemungkinan terpengaruh bahasa Sunda yang berawalan Ci (berarti air atau aliran sungai) karena berada di muara sungai, kota ini pun lama kelamaan disebut Cirebon. Yang lain lagi mengatakan Cirebon berasal dari kata yang bermakna sungai yang mengandung banyak udang (rebon berarti udang kecil).
Cirebon menerima pengaruh manapun dan meramunya menjadi budaya yang unik, sekaligus kaya warna. Identitas yang campur-aduk itu kemudian tercermin dalam berbagai produk budaya, dari kain batik, seni boga, seni pertunjukan, hingga bangunan-bangunan ibadah Dari makanan hingga kerajinan, dari tari hingga tradisi, dari arsitektur hingga spiritualitas, Cirebon tidak terkalahkan dari kota-kota lain di Jawa dalam hal kekayaannya.
Landmark dan bangunan lama, bahkan termasuk keraton dan makam penting, tidak cukup terawat. Namun, nilai kesejarahannya masih bisa dirasakan. Ada tiga keraton di kota ini: Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang merupakan buah dari konflik dan intrik yang diciptakan Kolonial Belanda pada Abad ke-18. Wisatawan masih banyak berkunjung ke warisan monarki Islam ini, terutama ke Kasepuhan dan Kanoman, meski kondisinya makin muram.
Dari ketiga keraton yang ada di Cirebon, Kasepuhan paling terawat, paling megah, dan paling bermakna dalam. Keraton ini dibangun pada 1529 sebagai perluasan dari Keraton tertua di Cirebon, Pakungwati, yang dibangun Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon pada 1445. Keraton Pakungwati terletak di belakang Kasepuhan.
Keraton ini memiliki kereta yang dikeramatkan, Kereta Singa Barong. Sejak 1942, kereta tidak boleh dipergunakan lagi, dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan. Penguasa pertama di Keraton Kasepuhan adalah Syech Syarief Hidayattulah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Dari tokoh inilah, kisah tentang daerah bernama Cirebon itu bergulir.
Keraton Kanoman berumur lebih muda. Keraton ini menyimpan kembaran dari Kereta Singa Barong yang ada di Kasepuhan, bernama Paksi Naga Liman.
Tapi, daya tarik utama bagi para wisatawan penziarah adalah sejumlah makam terkenal di kota ini. Yang paling utama: Kompleks Makam Sunan Gunung Jati, yang berisi tak hanya jasad Sang Sunan tapi juga jasad Pangeran Fatahilah, panglima yang menaklukkan Batavia.
Di samping makam itu, Cirebon memiliki Makam Nyi Mas Gandasari, seorang murid Sunan Gunung Jati dalam penyebaran agama Islam; Makam Syekh Magelung Sakti, pendekar yang disegani; serta Makam Talun, atau Mbah Kuwu Cirebon, pimpinan tertinggi di wilayah Cirebon.
Namun, atraksi arsitektur utama Cirebon ada pada dua masjid kunonya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa, yang berada dalam kompleks Keraton Kasepuhan, termasuk mahakarya dalam bangunan kayu dengan ukiran yang mencengangkan. Masjid itu berdiri pada 1549.
Masjid lain tak kurang nilai sejarahnya: Masjid Panjunan. Ukurannya kecil namun memukau. Inilah masjid tertua di Cirebon, dan mungkin salah satu yang tertua di Jawa, yang menjadikannya unik. Berdiri di sebuah pojok bagian kota tua Cirebon, masjid ini menyimpan sejarah panjang. Dia didirikan pada 1453, lebih tua dari Masjid Agung Demak (1477), Masjid Menara Kudus (1530), dan Masjid Agung Keraton Kasepuhan Cirebon sendiri (1549). Masjid tertua kelima di Indonesia.
Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok di masjid ini sehingga dia juga sering disebut Majid Merah. Bangunan bata ini merupakan warisan arsitektur kuno Hindu-Majapahit.
Masjid ini terletak di kampung Panjunan, kampung pembuat jun atau keramik proselen dan didirikan oleh Pangeran Panjunan yang merupakan murid Sunan Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali, penyebar Islam di Jawa. Menurut risalah kuno Babad Tjerbon, nama asli Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman. Dia memimpin sekelompok pendatang Arab dari Baghdad. Sang pangeran dan keluarganya mencari nafkah dari membuat keramik. Sampai sekarang anak keturunannya masih memelihara tradisi kerajinan keramik itu, meski kini lebih untuk tujuan spiritual ketimbang komersial.
Meski nuansa Arab tak terelakkan bila dilihat tradisi minum gahwa, ornamen masjid ini, seperti bangunan kuno lain di Cirebon, sangat kental dipengaruhi oleh seni tradisional Tionghoa. Piring-piring porselen asli Tiongkok menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon dan bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di kota itu.
Sebuah legenda menyebutkan, keramik Tiongkok itu merupakan bagian dari hadiah kaisar China ketika Sunan Gunung Jati menikahi putri sang kaisar yang bernama Tan Hong Tien Nio. Tak jauh dari masjid itu terdapat kuil Buddha kuno--Vihara Dewi Welas Asih, yang didominasi warna merah juga.
Seperti kota Cirebon sendiri, Masjid Panjunan mewakili sikap kosmopolit hasil persilangan budaya sejak dahulu kala. Simbol lain dari percampuran budaya ini juga nampak dalam ornamen kereta Paksi Nagaliman. Kereta kebesaran kesultanan Cirebon di masa lampau itu berbentuk hewan bersayap, berkepala naga, dan berbelalai gajah (ganesa). Hal itu menyiratkan makna bahwa budaya Cirebon terbentuk dari tiga kekuatan besar, yakni kebudayaan Cina (naga), kebudayaan Hindu (gajah), dan kebudayaan Islam (liman).
Pengaruh Tionghoa sebenarnya tidak hanya menancap dalam arsitektur, melainkan juga dalam seni topeng yang karakternya mirip tokoh Opera Peking; dalam seni batik Trusmi; serta dalam seni lukis kaca yang masih hidup sampai sekarang.
Cirebon mewakili sejarah pertemuan Islam-Tionghoa yang sangat mewarnai kota-kota pesisir utara Jawa, dari Banten hingga Gresik, kota-kota yang pernah dikunjungi Cheng Ho, seorang panglima dan pengelana muslim dari Dinasti Ming.
Cheng Ho tidak bisa dilepaskan dengan Islam dan Indonesia yang dulu Nusantara. Budaya Sino-Jawa membentang dari Banten, Jakarta, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara, Lasem sampai Gresik dan Surabaya sebagai akibat dari perjumpaan Cheng Ho dan Tionghoa Islam lain dengan Jawa.
Pada 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring bertuliskan ayat Kursi yang kabarnya masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pengaruh China juga terasa baik dalam makanan serta seni rupa. Bagi pecinta makanan, Cirebon juga menantang sebagai tujuan wisata kuliner. Nasi Jamblang, Nasi Lengko dan Empal Gentong merupakan jenis makanan populer dan khas kota ini. Nasi jamblang terdiri atas nasi yang dibungkus daun jati dilengkapi aneka lauk seperti paru, daging, tempe, tahu disertai dengan sambel khas. Nasi Lengko lebih sederhana: nasi putih campur tempe, tahu, mentimun toge dan daun kucai yang ditaburi bawang goreng dan kecap dan bumbu kacang. Empal Gentong mirip soto pada umumnya namun dengan citarasa khas: berkuah santan dipadukan dengan daging.
Cirebon juga memiliki minuman yang khas seperti tjanpolay, sejenis minuman dari sirup yang terkenal sejak dulu, dan teh poci, teh yang disuguhkan dengan teko terbuat dari tanah liat (poci).
Bersaing dengan Yogyakarta dan Solo, Cirebon juga terkenal akan seni batiknya, terutama Batik Trusmi yang dibuat di Desa Trusmi, 15 km dari pusat kota, dalam warisan turun-temurun. Batik Trusmi mempunyai motif yang khas, yaitu gambar kecil dengan warna yang tidak mencolok. Warna dasar yang banyak digunakan adalah kuning gading, coklat muda, abu-abu, hitam, dan hijau. Pola batiknya dikenal dengan nama Megamendung, Wadas Singa, Naga Semirang, dan Taman Arum, semuanya mengandung pengaruh Cina yang menonjol.
Pengaruh yang sama juga sangat kental pada seni lukis kaca, yang masih bertahan hingga kini dan menjadi salah satu kekayaan terpenting seni rupa Cirebon. Para pelukis kaca mewarisi seni kaligrafi yang dimulai sejak zaman Wali Sembilan.
LETAK geografis Cirebon yang berada di persimpangan jalan dari berbagai jurusan, menyebabkan kebudayaan di Kota Pesisir ini terkesan tindih-menindih. Salah satu yang amat membekas yakni pengaruh kebudayaan Hindu, baik yang tumbuh di Jawa (Hindu-Jawa) maupun di Sunda (Hindu-Sunda). Indikasi ini misalnya terlihat dari lambang Keraton berupa Harimau putih, yang menurut catatan sejarah merupakan peninggalan dari Kerajaan Hindu-Sunda.
Kalau kita cermati dinamika yang terjadi dalam kebudayaan (baca: kesenian) Cirebon, akan tampak perwujudan persembahan rakyat pada cara kehidupan keagamaan. Sejarah mencatat, sebelum kebudayaan Hindu masuk penduduk Pulau Jawa — termasuk juga Cirebon — memuja segala manifestasi alam yang mereka lihat sekitarnya seperti tumbuh-tumbuhan, batu karang dan laut, juga sungai, gunung, angin dan topan yang sekali-kali mengganggu kehidupan mereka.
Mereka percaya bahwa segala manifestasi alam ini mempunyai roh sendiri, umpamanya roh nenek moyang mereka yang selalu hadir dan mengamati mereka, yang menjadi penjaga kehidupan dan kesehatan. Dengan demikian, bagi orang-orang pra — Hindu semua kesenian bahkan dekorasi pada benda-benda fungsional merupakan perwujudan kepercayaan agama.
Makna spiritual
Benda-benda kesenian pada masa dulu dipandang memiliki nilai spiritual tertentu atau memiliki makna keagamaan yang tinggi. Lebih dari itu, benda-benda kesenian tersebut sudah diposisikan terhormat bahkan sebelum mewujud sebagai benda tertentu. Dengan kalimat lain, dari bahan dan tehnik pembuatannya pun sudah mempunyai makna spiritual.
Lambang-lambang khas yang dipakai untuk menghiasi benda kesenian tersebut mempunyai makna keagamaan pula. Pola-pola abstrak seperti bentuk swastika atau wajik, begitu juga bentuk-bentuk naturalis seperti ragam hias pohon hayat dan bentuk batu karang yang bergaya khas yang dinamakan Wadas, merupakan semua lambang kehidupan kerohanian dan organis dan berasal dari masa sebelum kebudayaan Hindu masuk di pulau Jawa.
Eksistensi kesenian — berikut benda-benda seninya — ternyata banyak bermanfaat dalam proses penyebaran agama Islam. Wali Sanga misalnya, para Wali ini menggunakan jalur-jalur kesenian untuk mencapai hati nurani rakyat.
Hal ini tampak pada strategi yang dilakukan Sunan Kalijaga. Beliau menyesuaikan bentuk-bentuk kesenian tradisional kepada kebutuhan rohaniah dan artistik dari masyarakat muslim baru, dan menyatukannya dengan lambang dan ungkapan baru.
Musik, lagu, dan tari, seni lukis, seni pahat dan arsitektur telah mencapai dimensi-dimensi baru. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa salah satu Masjid tertua di Jawa yaitu Masjid Agung Cirebon, bentuknya masih berdasarkan peraturan-peraturan bangunan Jawa Kuno. Begitu juga tidaklah mengherankan bahwa pada perayaan Maulid Nabi, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha masih terdengar suara gamelan sekaten, yang berasal dari masa pra-Islam, yang telah mendapat nama baru, yang mungkin berakar dalam kata hahadati.
Gambaran menjadi lebih jelas lagi kalau mengamati pola dan ragam hias serta desain Cirebon serta mengungkapkan suatu sintesa yang menarik dari berbagai bentuk kebudayaan dan filsafat.
Di zaman Hindu patung dan lukisan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kuil, dan melukiskan wujud agama serta lambang kepercayaan Hindu. Pola-pola semacam ini sekarang dapat dilihat antara lain dalam batik Cirebon dan juga dalam segala corak kesenian Cirebon yang dipengaruhi oleh persentuhan dengan kebudayaan asing lainnya, yang lambat laun diserap dalam kesenian Cirebon Hindu.
Kedatangan agama Islam dengan pola-pola baru dan anjuran agar tidak melukiskan segala bentuk manusiawi dan hewani, justru memperkaya imajinasi para seniman zaman dulu. Anjuran ini tidak selalu ditaati, tradisi kuno dipertahankan dan diperkaya dengan pola yang berciri Timur Tengah, Persia dan India. Sebagai contoh dapat disebut desain Singa Putih, suatu ragam hias yang berkali-kali muncul kembali, yang sebetulnya berasal dari harimau putih, tetapi yang lambat laun berubah menjadi Singa Persia, atau malah Singa Tiongkok.
Ragam hias
0 Response to "Cirebon BY BERTO PRAMADYA 4423107039 (UTS kebudayaan)"
Posting Komentar