Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi - Hai sahabat MOTIVASI, anda sudah membaca cerita sebelumnya dari novel hitam episode 8? Jika belum silahkan baca dulu disini.
Postingan ini adalah Kelanjutan Novel hitam episode 8.
Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi |
Tanpa berlama-lama lagi berikut Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi
***
Kelebihan gading putih adalah karena kekohannya, ketajamannya, yang hampir menyerupai pisau. Disebut gading putih bukan berarti memang dari gading, senjata itu terbuat dari batu kristal yang hanya terdapat di Rimba rintangan. Selanjutnya batu kristal itu dibentuk menyerupai pisau bengkok, atau kerambit. Soal membentuk hal semacam itu, Kai yang paling ahli.
Aku sekarang tengah berburu, mangsa sudah berhasil diintip, anak panah terarah persis di tubuhnya, hanya dalam beberapa menit mengintainya, ayam hutan telah tertangkap, anak panah menembus tubuhnya.
Embun pagi masih mengambang, dedaunan pohon menjadi lembab karenanya, suara burung berkicau menghiasi segarnya pagi. Sinar matahari baru hendak mengambil ancang-ancang untuk terbit.
Ambong dan yang lainnya masih tertidur pulas. Kasihan Ambong, luka itu pasti terasa perih sekali, Aku menyalakan kembali api yang telah mati, ayam hutan telah siap untuk dibakar. Ada sungai di sekitar sini yang bisa digunakan untuk membersihkan ayamnya barusan.
Aroma ayam panggang mulai tercium, sampai menembus hidung Ambong. Ambong mulai terbangun, menggeliat, sesekali menguap.
“Oyoyoy kau pengertian sekali samo kami, kelihatannyo ayam panggan itu lezat betul..” Ambong mengelap mata.
“Kalian cepatlah bangun, kito harus secepatnyo menuntaskan tujuan kito, memangnyo kalian mau berado disini dalam waktu yang lamo..?” Aku meniup bara api. Ambong menggeleng, membangunkan Bolu dan yang lainnya.
“Kau mau, Bolu?” Aku menawari Bolu yang baru terbangun, mencoba bersahabat dengannya.
“Tidak. Terimo kasih, aku biso cari makanan sendiri..” Bolu berdiri, menolak tawaranku. Sesekali menguap. Berjalan mengarah ke sungai. Tak apa, aku tidak perduli meskipun dia menolak.
“Menurut kalian, hewan apo lagi yang akan menghalangi perjalanan kito? Oyoyoy aku sepertinyo tak sanggup lagi..” Ambong mengeluh, memegangi tangan kanannya yang terluka. Dia benar, baru sampai disini saja sudah ada yang menghalangi, akupuan tak tahu hewan apa saja yang berada di Rimba “Rintangan” ini.
“Kau masih sanggup menggerakkan tangan kan?” Aku menanyai Ambong yang nampak meringis kesakitan. Ambong mengangguk. Masih.
Beberapa waktu kemudian, ayam bakar sudah matang sepenuhnya, kami sudah menyuwir masing-masing.
“Memangnyo kau masih belum mau makan babi, Sulung..?” Ambong bertanya sembari makan. Aku mengangguk, tak akan aku makan babi.
“Ngomong-ngomong suku kau memang tidak makan babi disitu?” Aku mengangguk lagi, tak berkata banyak (Terlepas dari Ambong yang masih menganggap aku lahir dari suku yang sama dengan mereka).
Tapi bicara tentang lain, kami disini asyik makan, sudah beberapa lama ini kenapa Bolu belum juga kembali?
“Tolong...” Suara Bolu terdengar dari kejauhan.
“Tolong...” Terdengar lebih kencang.
Astaga, ia meninggalkan anak panahnya disini. Bergegas kami berdiri, membawah anak panah. Mencari dimana asal suara teriakan Bolu, kami berlari menuju sungai.
Hei, lihat itu, disebelah sana, ada 5 buaya yang tengah menghampiri Bolu, Sudah tinggal sejengkal menggapai Bolu, Bolu sendiri sudah tak berdaya tersudut diatara tebing, lama sedikit Bolu akan menjadi santapan mereka. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku sudah memegang anak panah, mengarahkannya tepat di tubuh buaya. Anak panah sudah meluncur membelah udara, mendarat ke mata salah satu buaya. Buaya yang satu itu menggelepar kesakitan, aku memanahnya sekali lagi tepat di matanya, membuat ia tidak bisa melihat arah berlari. Tahu hal itu, ketiga buaya akhirnya berlari, menyelamatkan nyawa masing-masing. Buaya yang satu itu masih menggelepar kesakitan, tinggal menunggu waktu, buaya itu akan meninggal.
Kami menghampiri Bolu yang sudah pucat fasih.
“Kau tak Apo?” Dodu memegang bahu Bolu, wajah hitam Bolu nampak pucat. Bolu masih terlihat depresi. Bolu mempatung, tidak menggeleng, tidak mengangguk, mengatur napas.
“Oyoyoy sedikit sajo kedatangan kami terlambat, kau akan menjadi santapan buayo-buayo lapar itu... Makannyo, jangan gengsi. Ah kau ini sudah ditawari makan secaro percumo malah menolak. Nah, sekarang mano, kau dapat tak makanannyo? Ini bukan hutan kito Bolu, ini hutan Rintangan. Ingat, kito mesti bersatu disini” Ambong berkomentar. Bolu hanya terdiam.
“Kau sekarang berhutang nyawo samo Sulung... Cepat kau ucap terimo kasih” Ambong meneruskan. Bolu menggeleng, “Tidak, tidak akan, aku tidak akan berterimo kasih dengan penghianat ini” Ia pergi meninggalkan kami. Hening sejenak, kami mengiringinya.
***
Sudah hari ke tiga kami disini, berbagai jenis hewan sudah kami hadapi, terakhir kami menghadapi kumpulan ular saat tengah tertidur lelap, Bolu yang paling takut dengan ular sampai-sampai gemetaran menghadapinya, beruntung tidak ada dari kami yang terkena gigitan ular-ular berbisa tersebut. Wajar saja kalau Rimba ini termasuk Rimba larangan, ada banyak hewan buas berkumpul di dalamnya.
Perjalanan kami sudah hampir memasuki tujuan akhir, kata Ambong tinggal beberapa meter lagi kami akan sampai, itu hanyalah dugaan awal semata, namun dugaan itu ternyata benar, dari jarak beberapa meter batu-batu kristal itu sudah mulai terlihat, berkilau saat cahaya matahari menimpanya, membuat batu-batu itu berkilau indah sekali. Itu kali pertama aku melihat tumpukan batu yang sangat indah. Kami berlarian, tidak sabaran untuk segera mendapatkan batu itu.
Oh tidak, langkah kami terhenti. Sial, lihatlah di atas sana, itu sepertinya hewan yang selanjutnya harus kami hadapi, dan hewan yang ini berkali-kali lebih ganas ketimbang hewan sebelumnya. Di atas tumpukan batu-batu kristal itu, tidurlah puluhan singa yang merapat di atasnya. Aku meneguk ludah, keringat mendadak keluar dari pelipis.
“Oyoyoy selamo hidupku di hutan Rimbo, ini pertamo kali aku melihat hewan itu. Mereko lucu-lucu nian, lihatlah sulung, aponyo yang menyeramkan dari hewan-hewan ini?” Ambong senang sekali. Sepertinya dia belum tahu kalau hewan inilah yang disebut raja Rimba, daging kami bisa terkoyak-koyak jika giginya menancap di kulit kami.
“Kenapo kau senang nian, Ambong?” Aku melirik ke arah wajah Ambong yang berbina-binar.
“Tentu sajo aku senang, mereko hewan-hewan yang lucu betul..” Ambong sudah hendak lari menghampiri. Aku cepat menghentikan langkahnya, “Tunggu..” Berbisik, kami tengah mengintip dari kejauhan di balik semak-semak. “Kau jangan terkecoh dengan tampangnyo yang lucu, di dalam mulut hewan itu ado banyak gigi-gigi tajam macam gading putih yang biso mengoyak tubuh kito. Aku tahu dengan hewan itu”
“Jadi, maksud kau, kau pernah lihat hewan itu di tempat suku kau? Apo namo hewan itu?” Ambong mulai ketakutan.
“Singa.... Merekalah hewan dengan kebengisan menduduki tingkat pertamo di seluruh hutan. Mereko bukanlah lawan yang mudah dihadapi” Aku tercekik mengatakan itu.
“Ah, dasar kau penakut, kalau tak berani, biar aku sajo yang menghadapi mereko” Bolu dengan congkaknya menyibak semak, mendekati kumpulan singa.
“Jangan...” Aku berusaha menahan Bolu, namun ia tak mau mendengarkan, terus saja mendekati kumpulan singa. Bodoh, dia bodoh sekali, seharusnya ada rencana dahulu untuk menghadapi hewan-hewan itu.
Baru beberapa langkah Bolu hendak mendekat, sekawanan singa yang melihat keberadaanya langsung menyalak bengis, mendekati Bolu. Bolu yang sadar kalau singa mempunyai gigi tajam, berusaha untuk lari. Percuma, singa sangatlah cepat dalam berlari, kaki Bolu diterkam oleh salah satu singa. Bolu berteriak kesakitan. Kami berempat yang melihat hali itu langsung ikut keluar menombaki singa yang telah menggigit Bolu, membutuhkan 4 kali anak panah untuk membunuh singa. Sialnya, melihat satu temannya mati, puluhan sekawanan singa, ikut menyerang ke arah kami. Suasana sangatlah tegang. Beruntung saja luka di kaki Bolu tidaklah parah.
***
“Kalian semuo fokus tombak mata-mata mereko.” Aku gemetaran mengatakan itu, memberi aba-aba ke lainnya untuk serempak meluncurkan anak panah. Sekujur tubuh sudah dipenuhi oleh keringat. Kedua tangan sudah bersiap melepaskan anak panah. “Lepaskan...” Aku berseru, kami berlima kompak melepaskan anak panah, cuman 3 yang mengenai mata singa, singa-singa itu tak berdaya, sekarang masih ada sembilan ekor singa lagi. Apakah kami harus membunuh semua hewan-hewan ini? Berkali-kali anak panah kami luncurkan, namun banyak yang meleset, ketakutan membuat kefokusan menjadi buyar.
Aku ingat kata kai, “Kalian tak perlu membunuh penunggu-penunggu gading putih itu, disana ada goa dengan dua jalan masuk macam terowongan. Kalian suruh mereko mengejar ke arah goa, ketiko mereko masuk tutup pintu depan dengan batu besar, lantas kalian berlari menuju pintu belakang secepatnyo. Jiko sudah keluar bergegaslah menutup pintu belakang”
Kami sudah berlari sekuat tenaga, anak panah di tangan sudah habis, masih sekitar tujuh ekor singa mengejar, aku menyuruh yang lain untuk berlari zig-zag di pohon, agar mereka tidak bisa cepat mengejar. Sembari berlari, mataku terus mencari dimaa letak goa yang dimaksud oleh Kai. Tatapanku beredar kemana-mana, ketemu, disana ada satu goa besar.
“Dengarkan aku, aku akan menjadi umpan untuk ke goa itu, jiko aku sudah masuk, kalian harus cepat menutup goa depan, aku akan berlari ke arah pintu belakang, soal pintu belakang biar aku yang akan menutupnyo..” Sambil berlari aku mengatakan itu, suaraku terdengar patah-patah.
“Tapi itu terlalu bahayo Sulung, kalau kurang cepat, nyawo kau akan hilang” Ambong menanggapi.
“Ini harus dilakukan, jiko aku sudah di dalam dan pintu depan sudah tertutup, cepat kalian ambil gading putih... Tak perlu risaukan aku... “ Aku sudah berlari menuju goa, memisah dari mereka, singa-singa itu kulempari menggunakan batu agar mereka semua hanya emosi kepadaku, dan hanya mengejar ke arahku.
“Sulung... Jangan...” Terdengar sayup-sayup suara Ambong memekik. Aku tidak fokus lagi mendengarkan apapun. Napas sudah tersenggal, semuanya terasa hening, ini antara hidup dan matiku. Kalaupun aku mati disini, semoga saja hal ini mampu membalas jasa-jasa mereka semua, yang mau menampung, mengajari cara hidup, memberikan rasa cinta kepadaku. Bau amis dari moncong singa seakan sudah tercium, tinggal beberapa langkah lagi untuk menuju ke goa, saat aku hendak melompat ke pintu goa, satu langkah lagi sampai, kakiku dicengkram oleh salah satu singa, terasa sakit tak tertahankan. Aku tehempas di tanah, gigi runcing singa itu telah menembus kulit kaki. Kawanan singa yang lain sudah hampir sampai untuk merobek-robek tubuhku, beruntung ada batu disana, dengan sekuat tenaga aku memukul kepala singa dengan batu, membuat gigitannya terlepas, darah sudah menyeruak. Aku kembali berusaha masuk ke dalam goa, dengan terpincang-pincang kawanan singa masih mengejar. Sudah ditengah goa, penglihatan menjadi gelap, aku masih terus berlari menuju ke pintu belakang, dengan napas tersenggal, kaki yang terasa sakit sekali, aku berusaha untuk segera menutup pintu ini dari belakang, sepertinya pintu depan sudah ditutup oleh Ambong dan yang lainnya. Rasa lelah ini, tidak sebanding dengan yang telah aku lewati, hal yang paling melelahkan dan mengecewakan dalam hidupku adalah ketika kedua orangtuaku dibunuh, aku dibuang disini dengan segala ketakutan dan kekhawatiran. Sekarang aku telah terbiasa menahan sakit, telah terbiasa lari-lari semacam ini.
Tidak beberapa lama aku berlari, titik terang akhirnya muncul, di depan pintu sana terlihat seperti tengkorak manusia, aku menghiraukannya, terus berlari ke arah situ. Satu langkah lagi, satu singa kembali menggigit kaki sebelahku, membuat terhempas ke tanah. Beruntungnya, Ambong, Bolu, Dodu, dan Anbu memukul kepala singa, singa itu terpundur, dan merekapun menutup pintu goa dengan batu besar.
Aku bernapas lega, meskipun kedua kaki lemas dan tak sanggup berdiri lagi.
“A..aku, berhutang budi dengan kalian...” Bersuara serak. Ambong terlihat menangis. Mata Bolu, Dodu, Anbu terlihat berembun. Ambong mengelap matanya, mencari rumput belanda, mengobati kakiku.
***
“Kau istirahat sajo disini, biar kami yang mengambil gading putih..” Ambong menyuruh aku duduk, mereka berjalan ke arah tumpukan batu kristal. Tak hanya sampai disitu, ternyata masih ada satu singa yang tertinggal, tiba-tiba menggigit tangan Ambong. Ambong berteriak sangat kesakitan, mencoba melawan.
Aku tak bisa tinggal diam. Berusaha untuk berdiri menyelamatkanya, dengan sekuat tenaga aku memukul singa itu, Bolu dan yang lainnya membantu, singa itu tak mampu melawan lagi, kabur. Aku kembali terkulai lemas.
“Kenapo... Kenapo kau memaksakan diri?” Bolu bertanya, membantu aku duduk, dia terlihat begitu bersahabat kali ini.
“Aku.. Aku tak mau kalau teman-temanku terluka.. Kalaupun aku terluka, aku akan tetap menolong mereka..” Meringis kesakitan menjawab. Bolu terdiam tak berkomentar lagi.
BERSAMBUNGGG...
Nantikan Kisah kelanjutan dari Novel hitam yang memotivasi. Nantikan pula Motivasi, Inspirasi dan renungan yang seru lainnya hanya di Blog http://motivasil4l.blogspot.co.id/
Kunjungi terus setiap hari blog http://motivasil4l.blogspot.co.id/ Untuk tahu kelanjutan kisahnya yah :)
Profil penulis ada disini, mari berkenalan.
Tag : Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi, Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi
0 Response to "Kelanjutan Novel hitam episode 8 | Novel yang memotivasi"
Posting Komentar