#2 novel motivasi hidup - Hitam Eposode 3

#2 novel motivasi hidup Episode 3 - Hitam - Sebelumnya saya sudah menulis #Novel Motivasi Hitam Episode 2. Novel hitam ini saya buat agar pembacanya dapat termotivasi dan selalu semangat dalam menjalani kehidupan. Butuh beberapa bulan saya menulis novel ini dan sekarang anda sudah bisa membacanya. Berikut Novel Motivasi hidup yang berjudul hitam episode 3.

#2 novel motivasi hidup - Hitam Eposode 3
Ilustrasi #2 novel motivasi hidup - Hitam Eposode 3. Sumber Foto Marvelcinematicuniverse


Jangan lupa baca juga :

Berikut #2 novel motivasi hidup - Hitam Eposode 3
DIMANA AKU?
           
            “Kau sudah sadar udang kecil...?” Suara berat itu terdengar ketika rohku baru saja kembali menempel di jasad. Apa yang baru saja terjadi? Kepalaku agak sedikit berdenyut. Aku menarik napas, mencoba menenangkan diri, mengingat kembali hal apa yang telah terjadi.

            Tunggu sebentar, suara itu. Astaga, itu suara bandit kemarin. Aku membuka mata perlahan, duduk, tanpa disadari ternyata aku sudah terbaring di tanah, di tengah hutan. Baru ingat, bahwa barusan ada rombongan pria yang telah membiusku. Terlihat dua pria bertopeng di depan, dan satu bandit dengan sedikit bekas luka dikepala, dan leher bekas jahitan. Kaget dan takut, aku sedikit bergeser mundur.

            Teringat kembali hal kejam yang mereka lakukan kemarin, emosi, mengenggam sebuah batu, melemparkannya. Bandit itu mengelak.

            “Sekarang aku sudah bisa mengelak dari serangan kecilmu, bocah”, mereka tertawa.

            “Kau tidak akan bocor kepala lagi, ya boss!!” Orang yang memakai penutup kepala satunya tertawa lepas berusaha bercanda, yang lainnya diam, melotot. Melihat hal itu, dia juga menyumpal mulut, berhenti tertawa, membuka topeng. 

            Terlihat rambut keribo dengan hidung pesek, akan kuingat bentuk wajahnya – kalau aku masih hidup.

            Tiap kali teringat pembunuhan sadis mereka, aku selalu emosi. Mengambil ranting, mencoba menyerang mereka, berdiri, “HIAAA!!” Ranting terus kusambit-sambitkan. Maju. Tangan kanan bandit yang bisa dipastikan pemimpin mereka, apalagi mengingat pria satunya memanggil boss, meremas leherku, tinggiku masih sepantar bahu mereka, napas terhimpit, menatap ke arah mereka, tatapan penuh kebencian. Remasan di leher kian erat, didorongnya aku ke belakang, membuat terhenyak ke tanah, kepala hampir mengenai batu. 

            “Apa yang kalian inginkan dari keluarga kami?” Aku membuka mulut, Sedikit terbatuk akibat cekikannya.

            Bandit itu melihat dengan tatapan kejam, menjentikkan jarinya. Si kribo berjalan ke arah mobil. Masuk. Mengeluarkan secarik kertas dan handpone, menyerahkannya pada yang memerintah.

            “Tanda tangan!!” Bandit itu berseru, menyodorkan secarik kertas dan bolpoin ke arahku. “Cepat kau tanda tangani kertas ini..” ia berseru galak, sebelah tangannya memegang pemukul kasti –bersiap memukul kepalaku– Aku menggeleng, tidak tahu maksud dari keinginan mereka, dan juga tak akan mau menandatangani kertas itu.

            Ia menarik kembali kertas itu, memberikannya lagi pada si kribo, “Tak apalah jika kamu tidak mau menandatangai surat ini. Masih ada keempat adik kecilmu...”

            Mendengar mereka menyebut-nyebut keempat adikku, emosi semakin memuncak, “Jangan coba-coba kalian sakiti adik-adikku. Atau kalian akan ...” Kehilangan kata-kata.

            “Atau apa hah?” Si kribo berseru.

            “Atau kalian akan dihajar oleh pamanku..” Aku asal menjawab, benar-benar kehabisan kata.

            Mereka saling pandang, tertawa kompak. “Maksud kau LEO WILLIAM hah?” mereka bertanya. Aku terkaget, bagaimana dia tahu nama lengkap paman Leo? Siapa sebenarnya mereka ini?

            “Lihatlah ini...!!” Dia menyodorkan handphone. Meskipun malas untuk melihatnya, aku harus lihat itu agar tahu maksud dari tujuan mereka.

            “Tujuan awal kita sudah selesai. Kerja yang bagus. Tujuan selanjutnya adalah membunuh kelima anak kecil itu, jangan lupa untuk meminta tanda tangan untuk suratnya sebelum mereka kalian bunuh, agar dendamku bisa tercapai, dan aku bisa menguasai harta mereka..”

            Bak petir menghampiri, meruntuhkan perasaan. Dunia seperti semakin gelap, bukan hanya karena ucapan dari orang yang ada di video itu, tapi lebih-lebih mengetahui kalau orang yang berbicara itu adalah Paman Leo. 

            Ya Tuhan, aku tak dapat berkata apa-apa lagi, membatu. Tak bisa kupercaya kalau ternyata dibalik pembunuhan hari itu pelakunya adalah Paman Leo sendiri. 

            Langit seakan menampakkan awan-awan hitam mengerikan. Kecewa sekali. Paman yang aku pikir selama ini paling baik, paman yang bisa menggantikan sosok ayah adalah dalang ini semua. 

            Paman Leo laknat, tega sekali ia melakukan ini semua kepada kami. Pandai sekali dia akting selama ini dihadapan kami. Rasa emosi membakar hatiku. Rana-Rani dan Adi-Edi, mereka, mereka dalam bahaya. Bergegas aku berusaha hendak lari, namun apa daya, ketika selangkah-dua langkah kaki melangkah, kepala berdebam dipukul mereka. 

            Aku terkapar lemah di tanah, terdengar sedikit sayup-sayup mengatakan “Biar saja dia disini. Hewan buas akan mencabik daging-daging lembutnya itu.” Lantas tidak sadarkan diri.

***

            “Dio sudah bangun, kai..”

            Terdengar suara sayup-sayup, aku perlahan membuka mata. Memegang kepala, terasa sakit, sepertinya sedikit luka. Pandangan masih agak sedikit kabur, berkunang-kunang. Masih teringat video itu, benar-benar Aku kecewa kepada paman Leo.

            Tapi tunggu sebentar. Aku, aku masih hidup. Apa yang telah terjadi? Mengapa mereka tidak membunuhku? Dimana aku?

            Terlihat sama-samar anak laki-laki yang sepertinya seumuranku, menatap heran kearahku. Pandangan semakin membaik, tidak-tidak, bukan hanya satu orang, tapi sekitar puluhan orang, berkumpul mengelilingiku, menatap dengan tatapan heran. Aku lebih-lebih heran melihat mereka, heran bercampur ketakutan.

            Mereka tidak seperti orang normal, maksudku pakaian mereka benar-benar terlihat aneh, kalau dikira-kira pakaian mereka itu terbuat dari daun kering yang dianyam. Prianya bertelanjang dada hanya memakai celana, sedangkan yang perempuan memakai baju dan celana yang seragam dengan yang lainnya. Jangan-jangan mereka adalah manusia hutan – Orang pedalaman. Astaga naga, macam mana ini? Kenapa hidupku semakin masuk ke dalam hal menyeramkan seperti ini? 

            Sekali-dua kali terdengar suara burung bersahutan, terlihat pohon-pohon sepanjang mata memandang.

            “Kai, jangan-jangan dio ini salah satu dari suku pute. Apo kito usir sajo dio ini, kai?” Pria yang berdiri di dekat kakek tua mengatakan, disetujui dengan rombongan lainnya. Aku sedikit kurang mengerti bahasa mereka, hanya saja sepertinya mereka tengah mencurigai aku, terdengar dari kata usir dan nada agak sedikit sebal dari mereka. Aku masih lemas terkapar di tanah, dengan daun pisang sebagai karpetnya, kepala masih terasa sakit, tak berdaya untuk berdiri.

            Kakek tua itu mengangkat tangan, menyuruh berhenti, “Tidak, dio bukan dari suku pute, memang kulitnya berwarno pute, tapi cubo kalian lihat pakaiannyo. Dio ini bukanlah dari suku pedalaman, biarlah dulu dio istirahat sampai sehat, baru kito bisa tanyoi dio” Kakek tua dengan tongkat kayu di tangan kanannya berdiri “Biarkan dulu dio disini... Nah, kau Ambong, jagoi dio disini, kalau dio mau minum ataupun makan, kasih sajo..”

            “SIAPP KAII!!” Anak yang sepertinya seumuran aku itu menjawab tegas. Kakek tua dan yang lainnya berjalan menjauh.

            Entahlah, dimana ini. Yang pasti aku ingin pulang, aku takut dengan orang-orang ini. 

            Baju putihku sudah cemong penuh lumpur, mengorek saku celana, sedikit lega bahwa kalungnya masih ada. 

            Orang dengan kulit hitam itu sibuk melakukan sesuatu, entah apa yang dia lakukan. Pandanganku mengarah ke atas, melihat rimbunnya daun, sesekali terlihat silau karena tembus oleh sinar matahari. 

            Teringat mama, apa maksud dari teka-teki mama tentang kalung hitam itu? Dulu aku benci sekali warna hitam, sampai semua pakaian yang aku kenakanpun tidak ada yang hitam sama sekali.

            Aku benci warna hitam, karena hitam itu adalah pertanda keburukan-kematian, warna hitam pula mengartikan kalau hidup orang tersebut menderita. Tapi aduhai mama, sekarang hidupku menderita, dunia menjadi hitam, aku tidak bisa hendak membenci atau tidak warna ini, karena ia sudah menempel dalam hidupku. 

            Dan sekarang, ada banyak orang-orang hitam disini. Bagaimana ini? Sialnya lagi tidak ada handphone disini untuk menelpon orang rumah, untuk menelepon bi Dira atau paman Leo. Menahan napas sejenak, langsung emosi kalau teringat bajingan itu, setan, paman Leo benar-benar serigala berbulu domba, aku benci sekali orang itu. Rana-Rani, Adi-Edi, mereka dalam bahaya, aku mencoba berdiri. Tak sanggup, sedikit mengeluh kesakitan.

            “Kau mau kemano? Tidur sajo dulu, luka kau masih parah nian..”, anak seumuran aku itu menoleh, berkata, sekarang dihadapanya sudah mengepul asap, jadi dari tadi dia mencoba menyalahkan api, tapi menggunakan apa? Apakah di dekat sini ada yang menjual korek? Ah lupakan, sepertinya ia benar, bahwa aku butuh untuk istirahat dulu.

***

            Warna senja menyapa, terlihat sedikit gelap. Suara jangkrik berderu, burung-burung dengan masing-masing suara saling bersahutan. Suara kerumunan dan deru kaki mendekat, aku terbangun, duduk, sekarang sudah tidak terlalu terasa sakit. Mengeluh. Ternyata ini bukanlah mimpi, dimana aku? Menangis ketakutan.

            “Nah, dio sudah sembuh sepertinyo..” Kakek tua itu berjalan menghampiriku, tersenyum. “Kenapo kau nangis?” dia bertanya. Aku tak menjawab, “Yah sudah kalau tak mau menjawab, kita masuk ke goa dulu, sebentar lagi malam... Oi Ambong, antar dulu dio ini ke goa.” Berseru ke arah anak yang tadi.

            “SIAPP KAII!!” Dia berjalan, mencoba memapahku. 

            Baru aku sadari kalau ternyata daritadi disini terdapat tebing dengan beberapa gua disana, gua itu tidak terlalu tampak karena mereka menutupinya menggunakan rumput-rumput yang menjalar dari atas. Apa pula fungsi-fungsi dari goa ini?

            “Nah duduklah disini..” Anak sepantaran dan seumuranku berkata. Tidak ada apa-apa disini, selain hanya dinding-dindingg tanah dan api unggun. Disini juga cuman ada kakek tua dan anak itu. Kemana perginya yang lain?

            Jujur, aku tidak suka tempat ini, disini gelap, aku tidak suka warna hitam, apalagi gelap seperti ini.

            “Tolong lampunya jangan dimatikan, ma” selalu itu yang terucap ketika aku hendak tidur. Aku takut sekali akan kegelapan, rasa-rasanya di dalam gelap ada hantu-hantu siap menerkam.

            “Kau tahu sayang, tidur tanpa lampu itu baik. Ruangan gelap ketika kita tidur dapat membunuh sel-sel jahat penyebab kanker, Loh. Tapi kau harus berani akan kegelapan, hidup ini mempunyai 2 sisi, sayang. Baik-buruk, siang-malam, terang-gelap, ada masanya kita senang dan sedih, kamu tidak bisa mengelak dari keduanya, cukup nikmati dan bersabar. 

            “Setiap kegelapan itu baik, coba kamu lihat bintang, ia hanya muncul ketika malam hari, itu artinya setiap sisi buruk juga mengandung kebaikan. Sama halnya seperti gelap, kegelapan tidaklah menakutkan, pikiran kamu saja yang seolah-olah membuat itu menakutkan” Walaupun berkali-kali mama berdongeng tentang itu, selalu mengatakan kebaikan akan keburukan, tetap saja aku benci dan takut kegelapan. Sekarang, hidupku  sedang berada di sisi hitam, apa coba hikmah dari ini semua? Tidak ada hikmah, yang ada hanyalah kesengsaraan, ketakutan, kelaparan. Dan aku lapar sekarang.

            Aku juga tidak suka dengan orang-orang aneh disini. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, aku benci itu semua.

            “Kau lapar? Silahkan makan babi panggang ini untuk mengisi perut kau yang kosong..” Kakek tua menyodorkan segumpal daging yang baru saja dipanggangnya. Eikss, Apa katanya? Daging babi? Jangankan mau memakannya, melihat dan mendengar kalau itu daging babi saja sudah membuat perut mual. Lebih baik rasa lapar ini ditahan untuk sementara waktu, aku harus secepatnya pergi dari sini. Semoga saja orang-orang disini bukanlah kanibal, dan membiarkan aku pergi.

            “Ngomong-ngomong, siapo namo kau?” Kakek tua bertanya. Aku paham sekarang, mereka kebanyakan hanya mengganti huruf ujung dengan “O”.

            “Su...u...sulung..” Aku menjawab ragu-ragu.

            “Sulung? Oyoyoy itu namo yang bagus nian” Ia tersenyum, meniup-niup daging bakar. “Kau tidak mau makan, sulung? Kalau tidak, daging ini akan segera lenyap dimakan si Ambong..” Kakek itu tertawa, Aku diam, tidak ikut tertawa, masih takut sama mereka.

            “Kai, memangnyo dio darimano? Jangan-jangan betul kato orang-orang, kalau dio ini adalah kelompok suku pute” Anak itu ikut bicara, mengelap mulutnya yang habis menggigit daging.

            “Kau jangan asal berucap, Ambong. Tidak mungkinlah dio rombongan suku pute, memangnyo ado suku pute memakai baju sebagus macam ini?” Kakek itu tertawa lagi. Meletakkan gagang penusuk daging yang sudah kosong ke tanah. 

            “Ah sudahlah, kito tidur dulu, sudah malam. Besok kito cakap-cakap lagi” Kakek tua mematikan api unggun, menyisakan arang yang masih memerah. “Nah kau Sulung, tidur sajo didekat Ambong, kai mau tidur duluan yo..” Kakek tua berbaring di tanah, anak seumuran aku itu juga berbaring – Terlihat ketika arang menyalah yang masih memberi sedikit sinarnya, sekali-kali dia menguap, meninggalkan aku sendiri yang ketakutan, kelaparan dan tentu saja tidak akan bisa tidur dalam kegelapan seperti ini, terlebih lagi tidur di tanah langsung, tidak terbayangkan apakah aku bisa hidup disini.

            Beberapa menit berlalu, suasana semakin hening, terdengar suara ngorok dari salah satu mereka, aku tidak tahu siapa yang mengorok, karena arang dari api sudah mati. Aku berniat untuk pergi dari sini, suara burung hantu bernyanyi riang di depan, ditemani nada jangkrik dan serangga lainnya. Ketakutan yang amat sangat, tapi aku harus mengalahkan rasa takut ini agar bisa pergi dari sini, bisa menyelamatkan si kembar dari liciknya si Leo William – Bahkan aku tidak sudi lagi menyebutnya dengan embel-embel “Paman”.

            Aku Berdiri. Merapat ke dinding, berjalan menelusuri goa, terus menyentuh dinding, karena ini goa, walaupun gelap, teorinya sederhana saja untuk keluar dari sini, yaitu dengan terus menelusuri melalui sentuhan dinding.

            Selangkah demi selangkah kaki melangkah, dengan tangan terus meraba-raba dinding, akhirnya aku sampai ke semak-semak penutup goa, menyibaknya, lantas langsung lompat keluar.

            Terlihat sedikit terang diluar sini, bulan purnama menyumbang sedikit cahanya ke tanah, yang kebanyakan terhalangi oleh dedaunan rimbun pohon-pohon. Namun Diluar sini berkali-kali lipat lebih lebih dingin ketimbang di dalam, membuat gigi bergemeletuk pas ketika tubuh langsung keuar dari mulut goa.

            Aku sedikit berlarian, berusaha mencari tahu kemana arah jalan pulang. Percuma, disini tidak terlihat jalan setapak sedikitpun, hutan hanya ditutupi daun-daun kering. Terus berjalan, secepatnya aku harus segera keluar dari hutan ini. Dimana ini sebenarnya? Kepala terasa sakit lagi, berhenti sejenak untuk menghilangkan denyutannya. Mendongak ke atas, terlihat satu burung hantu sedang berdiri memperhatikanku, tatapan tajam dari kedua matanya yang besar dan bulat terlihat menyeramkan, ngeri. Kembali kaki melangkah mencari jalan.

            Sepuluh menit.

            Dua puluh menit. Menurut perkiraanku.

            Masih belum nampak ujung dari hutan ini, sudah lebih dari 5 kali aku terperanjat kaget karena bertemu ular. Sekali-kali tercium bau bunga-bunga—aku tidak tahu bau bunga apa itu, namun yang pasti, meskipun bau itu wangi, namun membawa efek menyeramkan, seperti sesosok hantu tengah mengawasi. 

            Mama, ayah tolong anakmu ini keluar dari sini. Aku gemetaran, menahan tangis.

            Sial, ditengah malam begini, ditengah hutan, dingin yang amat sangat, sendirian dengan rasa takut yang amat sangat, tiba-tiba hujan menderu datang amat deras, membasahi dedaunan di pohon, membasahi bumi, membasahi seluruh pakaian dan tubuhku, tak sanggup lagi aku menahan rasa dingin dan takut itu. Hanya bisa merapatkan kedua tangan, tergopoh-gopoh berjalan. Menangis. Seorang anak yang terbiasa hidup ditengah terangnya lampu di rumah yang nyaman, tiba-tiba tersesat di hutan ditengah malam sendirian, bagaimana aku tidak takut.

            Jujur saja, aku adalah anak laki-laki cengeng dan manja, keadaan hidup kami yang bergelamor membuat begini. Untuk tidur selalu minta dibacakan cerita –itu waktu kecil– , untuk makan tinggal disebutkan, ingin mandi air hangat tinggal menyuruh bi Dira menyiapkan, takut akan kegelapan tinggal menghidupkan lampu yang menyala terang dan membiarkan TV di kamar hidup semalaman. Jika tubuh sedikit pegal, bi Dira pula yang memijat tubuhku. Jangankan bekerja, merapikan kamar tidur saja aku jarang sekali. Sebenarnya mama dan ayah ingin menghilangkan sikap manja pada diriku, itulah mengapa mama terkadang membuat teka-teki dimana kalau aku tidak menjawab atau tidak bisa menjawab, hukumannya harus merapikan dan membersihkan kamar sendiri. Mama tidak memaksa kami mengikuti teka-teki itu, namun kalau tidak ikut maka uang jajan kami akan dipotong. Aku rindu mama, rindu akan teka-tekinya.

            Semua kemewahan itu, kenyamanan rumah kami, bahkan seratus kali bolak-balik berbanding dengan kondisi aku sekarang. Kelaparan, kedinginan, ketakutan. Tak bisa bermanja, bisa hilang nyawaku kalau bermanja-manja disini.

            Tungu sebentar, bicara tentang teka-teki, dimana kalung pemberian mama? Aku merogoh kantong, panik. Dimana? Dimana kalung itu? Astaga, maafkan Sulung ma, kalungnya hilang. Sulung tidak bisa mencarinya ma, sulung harus pergi dari sini. Sepertinya kalung itu tidak akan bisa didapatkan lagi, sekali lagi maafkan sulung, ma.

            Aku kembali memaksa kaki melangkah, meskipun, lelah-letih-lesu-pegal. Tergopoh-gopoh aku tetap berjalan.

            “KRSSKK...” Terdengar suara berjalan, menginjak dedaunan. Hujan sudah berhenti, bulan purnama sedikit memunculkan diri lagi. Sebenarnya aneh, ditengah bulan purnama begini, mengapa hujan turun begitu derasnya (Atau hal itu sudah biasa? Hanya aku saja yang tidak tahu?)

            “KRRSKKK!!!” Lagi-lagi suara itu terdengar, sekarang sepertinya dia mendekat. Suara apa itu? Kuharap itu bukanlah suara dari orang-orang aneh itu lagi.

            “KRSSKKK.!!..KRSKKK..!!”  Sekarang sudah dipastikan kalau sumber suara itu tepat sekitar satu meter dibelakangku. Aku mencicit ketakutan, menengok ke belakang secara perlahan. AS-TA-GA, menelan ludah, jantung sudah berderu kencang melihat sosok si pembuat suara itu barusan. “Be-Ru-Ang” Aku berkata pelan, takut ia mengetahui keberadaanku, mundur sedikit-demi sedikit. Saat hewan itu tidak melihat, bergegas aku berlari secepat mungkin. Namun sial, hewan itu malah melihat, dan mungkin saja mengira aku mangsa, ia mengejar.

            Sebenarnya belum dipastikan itu hewan apa, hanya terlihat sileut tubuhnya saja yang bermandikan cahaya purnama. Terserah itu hewan apa, yang pasti aku harus lari agar terhindar dari cengkramannya.

            Hewan itu terus mengejar, aku tegang sekali, kaki sudah benar-benar berat untuk diajak melangkah. Tapi apa daya, semua ini memaksa untuk kaki terus melangkah.

            Napas sudah tersenggal, kaki tidak kuat lagi untuk melangkah, aku tersungkur, membuat langkah terhenti. Hewannya sudah tinggal beberapa langkah, mengaum buas, siap menerkam, terlihat gigi-gigi runcingnya berbaris rapi ketika ia membuka mulut.

            “TOLONGGG...!!” Hanya teriakan ini yang bisa kulakukan, sambil terus bergeser mundur. “TOLONGGG..” Kembali berteriak. Tak bisa, aku tidak bisa mengharapkan bantuan dari orang lain, berusaha dengan sekuat tenaga untuk berdiri. Kaki sudah pincang untuk lari, sekujur tubuh seakan diremas-remas saking lelahnya, udara rasa-rasanya tidak bisa lagi masuk ke dalam tubuh, namun aku terus berusaha untuk lari. Tubuh sudah lelah tak bisa dijelaskan, wajah sudah cemong tak tahu lagi bentuknya.

            Aku benar-benar tidak sanggup, hanya beberapa meter melangkah, tubuh kembali tersungkur. Hewan itu sudah benar-benar siap untuk  menerkam, mataku terpejam, tangan melindungi kepala, tak bisa berbuat apa-apa lagi, kuku panjang itu sudah tinggal beberapa senti merobek dagingku. Aku pasrah, menahan napas. Beberapa menit, namun ia tidak mencakar.

            Teriakan hewan yang sekarang sudah benar dipastikan beruang itu tiba-tiba seperti kesakitan. Aku membuka mata, melihat apa yang terjadi, ternyata satu anak panah dengan garis-garis merah sudah tertancap di paha beruang. Siapa yang telah memanahnya? Siapapun itu, ia pasti akan memenangkan lomba memanah di dunia. Aku melihat sekeliling, tidak ada satupun orang disana, beberapa detik kemudian, beruang itu terkena anak panah lagi tepat di ulu hatinya., membuat beruang itu tumbang tak dapat lari lagi. Tinggal menunggu waktu, beruang tersebut akan benar-benar mati. 

            Aku bernapas lega, namun masih bingung, siapa yang telah memanah si beruang? Tak terlihat siapapun, bahkan suara langkah kakipun tidak terdengar.

            Tubuh benar-benar sudah kelelahan, perut sudah sakit menahan lapar, sepertinya aku tidak akan bisa keluar dari hutan ini atau aku akan mati di hutan ini, kepala berdenyut sakit. Aku kembali tersungkur untuk kesekian kalinya, tiba-tiba kembali tak sadarkan diri.

BERSAMBUNG...

Nantikan Novel-Novel Motivasi hidup yang lainnya. Nantikan pula Artikel tentang motivasi, inspirasi dan renungan lainnya :)

0 Response to "#2 novel motivasi hidup - Hitam Eposode 3"

Posting Komentar