Riyani Asti Arami
4423107019
Rumah Gadang
Masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat menganut falsafah hidup “alam takambang jadi guru”. Mereka menjadikan alam sebagai guru untuk membangun kebudayaan mereka. Orang-orang Minangkabau menganut paham dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat), sebagaimana dinamika alam, yaitu selaras dan dinamis. Bisa dilihat dari paham tersebut salah satunya adalah arsitektur rumahnya, yaitu Rumah Gadang. Gaya seni hiasan bagian dalam dan luar serta fungsi rumah merupakan aktualisasi falsafah hidup orang Minangkabau. Harmonis dan dinamis sebenarnya merupakan konsepsi yang berlawanan. Harmonis berkaitan dengan keselarasan, dan dinamis berkait dengan pertentangan. Hanya saja, ketika harmonis dan dinamis dipahami dalam konteks “bakarano bakajadian”, maka kedua hal tersebut menghasilkan sebuah kebudayaan yang menakjubkan. Bentuk badan Rumah Gadang yang segi empat dan membesar ke atas (trapesium terbalik), atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sisinya melengkung ke dalam, bagian tengahnya rendah seperti perahu, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh atap berbentuk segi tiga yang melengkung ke dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetis, harmonis.
Disebut Rumah Gadang (Gadang = besar), bukan karena bentuk fisiknya yang besar, melainkan karena fungsinya. Rumah Gadang disamping sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat musyawarah keluarga, tempat mengadakan upacara-upacara, pewarisan nilai-nilai adat, dan representasi budaya matrilenial. Sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang memiliki tata aturan yang unik. Perempuan yang telah bersuami mendapat jatah satu kamar. Perempuan yang paling muda mendapat kamar yang paling ujung dan akan pindah ke tengah jika ada perempuan lain, adiknya, yang bersuami. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama pada ujung yang lain. Sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing.
Bentuk Rumah Gadang pada tahun 1910
Rumah Gadang juga merupakan tempat bermusyawarah untuk mencari kata mufakat antar anggota keluarga. Di tempat ini setiap persoalan dibicarakan dan dicarikan jalan keluarnya. Dengan cara ini, keselarasan dan keharmonisan antar angggota keluarga dibangun. Selain itu, Rumah Gadang merupakan tempat menjaga martabat. Di tempat ini, penobatan penghulu dilakukan, perjamuan penting diadakan, dan para penghulu menerima tamu-tamu yang dihormati. Oleh karena itu, tidak heran jika Rumah Gadang sangat dimuliakan, bahkan dipandang suci oleh masyarakat Minangkabau. Status Rumah Gadang yang begitu tinggi melahirkan beragam tata aturan. Setiap orang yang hendak naik ke Rumah Gadang terlebih dahulu harus mencuci kakinya di bawah tangga. Biasanya di bawah tangga tersebut terdapat sebuah batu ceper yang lebar (batu telapakan), sebuah tempat air dari batu (cibuk meriau), dan sebuah timba air dari kayu (taring berpanto).
Jika ada perempuan yang datang bertamu, sebelum masuk dan masih berada di halaman, maka ia terlebih dahulu harus menanyakan apakah di rumah tersebut ada orangnya. Kalau yang datang laki-laki, ia harus mendeham terlebih dahulu di halaman sampai ada sahutan dari dalam rumah. Laki-laki yang boleh datang ke rumah itu bukan orang lain tetapi keluarga penghuni rumah itu sendiri, mungkin mamak, orang semenda, atau laki-laki yang lahir di rumah tersebut tetapi telah bertempat tinggal di rumah lain. Jika yang datang bertamu itu tungganai, ia didudukkan di lanjar terdepan pada ruang sebelah ujung di depan kamar gadis-gadis. Kalau yang datang itu ipar atau besan, mereka ditempatkan di lanjar terdepan di depan kamar istri laki-laki yang menjadi kerabat tamu itu. Kalau yang datang itu ipar atau besan dari perkawinan kaum laki-laki di rumah itu, mereka ditempatkan di depan kamar para gadis di bagian lanjar tengah. Kaum lelaki yang hendak membicarakan suatu hal dengan ahli rumah yang laki-laki, seperti semenda atau mamak rumah, tidak lazim melakukannya di dalam Rumah Gadang. Pertemuan antara laki-laki tempatnya di masjid atau surau, di pemedanan atau gelanggang, di balai atau di kedai. Jika ada kaum laki-laki yang membawa tamu laki-lakinya berbincang-bincang di dalam rumah kediamannya, maka ia dianggap tidak tahu diri.
Aturan juga berlaku ketika anggota keluarga penghuni Rumah Gadang hendak makan. Walaupun para anggota keluarga hidup dan tinggal dalam satu rumah, tetapi mereka tidak makan bersamaan kecuali pada acara kenduri (upacara). Perempuan yang tidak bersuami makan di ruangan dekat dapur. Para perempuan yang sudah bersuami makan bersama suami masing-masing di depan kamarnya sendiri-sendiri. Kalau banyak orang semenda di atas rumah, maka mereka akan makan di dalam kamar masing-masing. Kalau ada ipar atau besan yang datang bertamu, mereka akan selalu diberi makan. Waktu makan para tamu tidaklah ditentukan. Semua tamu harus diberi makan sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Yang menemani tamu pada waktu makan ialah kepala rumah tangga, yaitu perempuan yang dituakan di rumah itu. Perempuan yang menjadi istri saudara atau anak laki-laki tamu itu bertugas melayani. Sedangkan perempuan lainnya duduk pada lanjar bagian dinding kamar menemani tamu tersebut.
Rumah Gadang Minangkabau merupakan rumah milik bersama sebuah kaum (keluarga besar). Oleh karena itu, pembangunan rumah yang dibangun di atas tanah kaum ini dilakukan secara bergotong-royong. Namun demikian, yang bertanggungjawab dalam proses pembangunannya adalah tukang ahli. Tukang yang dikatakan sebagai tukang ahli adalah tukang yang dapat memanfaatkan setiap bahan yang tersedia menurut kondisinya atau biasanya disebut indak tukang mambuang kayu (tidak tukang membuang kayu). Sebab, setiap kayu ada manfaatnya dan dapat digunakan secara tepat jika tukangnya adalah tukang ahli. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Rumah Gadang di antaranya adalah:
- Kayu merupakan unsur terpenting untuk membangun Rumah Gadang, khususnya untuk tonggak tuo. Oleh karena tonggak tuo merupakan penentu kokoh tidaknya Rumah Gadang, maka kayu yang digunakan adalah kayu-kayu pilihan yang pengadaannya selalu didasarkan pada adat-istiadat masyarakat.
- Ijuk digunakan untuk membuat atap rumah.Jerami. Selain ijuk, jerami juga digunakan untuk membuat atap rumah.Bambu. Bambu digunakan untuk membuat dinding pada bagian belakang rumah.Papan. Papan merupakan kayu yang dibelah tipis sekitar 3-5 cm dan digunakan untuk membuat dinding. Dinding bagian belakang Rumah Gadang terbuat dari anyaman bambu.
Karena Rumah Gadang dimiliki bersama oleh suatu kaum, maka tanah yang digunakan adalah tanah kaum. Lokasi di mana tanah kaum berada, menentukan arsitektur bangunan yang boleh dibangun, misalnya: Rumah Gadang bergonjong empat atau lebih hanya boleh didirikan pada perkampungan yang berstatus nagari atau koto; untuk ukuran dusun, hanya boleh bergonjong dua; dan di teratak tidak boleh didirikan rumah bergonjong.
Bagian-Bagian Rumah Gadang
Rumah gadang terbagi atas bagian-bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus. Seluruh bagian dalam merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang dibatasi oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang disebut lanjar yang jumlahnya tergantung kepada besarnya rumah. Sedangkan tiang dari kiri ke kanan dibentuk sebagai ruang yang jumlahnya selalu ganjil. Jika dilihat dari jumlah lanjarnya, terdapat tiga tipe Rumah Gadang, yaitu: pertama, Rumah Gadang yang hanya mempunyai dua lanjar disebut Rumah Gadang Rajo Babandiang. Rumah tipe ini dinamai rumah Lipat Pandan. Kedua, Rumah Gadang yang mempunyai tiga lanjar disebut dengan Rumah Gadang bapaserek/surambi papek. Rumah tipe ini dinamai rumah Belah Rebung. Ketiga, Rumah Gadang yang mempunyai empat lanjar disebut dengan Rumah Gadang Gajah Maharam.
Pembagian dan fungsi ruang pada Rumah Gadang tipe Gajah Maharram adalah sebagai berikut :
- Lanjar belakang terletak pada bagian dinding sebelah belakang. Lanjar ini biasanya digunakan untuk kamar-kamar. Jumlahnya tergantung pada jumlah perempuan yang tinggal di dalam Rumah Gadang tersebut. Kamar-kamarnya berukuran kecil, karena hanya berisi sebuah tempat tidur, lemari dan sedikit ruangan untuk bergerak. Kamar memang digunakan untuk tidur dan berganti pakaian saja. Kamar itu tidak mungkin dapat digunakan untuk keperluan lain, karena keperluan lain harus menggunakan ruang atau tempat yang terbuka.
- Lanjar kedua merupakan tempat khusus penghuni kamar. Misalnya, untuk tempat mereka makan dan menanti tamu masing-masing.
- Lanjar ketiga disebut juga lanjar tengah pada rumah berlanjar. Sebagai lanjar tengah, ia digunakan untuk tempat menanti tamu penghuni kamar masing-masing yang berada di ruang itu.
- Lanjar tepi. Lanjar tepi terletak di bagian depan dinding depan, merupakan lanjar terhormat yang lazimnya digunakan sebagai tempat tamu laki-laki bila diadakan perjamuan.
Sedangkan menurut letak ruangannya, maka struktur Rumah Gadang tipe Gajah Maharram adalah sebagai berikut:
- Ruang depan. Ruangan ini merupakan ruang besar yang dipakai sebagai ruang keluarga, tempat mengadakan musyawarah, menerima tamu, mengadakan upacara, dan lain sebagainya.
- Ruang tengah. Ruangan ini terdiri dari kamar-kamar yang digunakan sebagai tempat tidur penghuni wanita bersama suaminya.
- Ruang Anjungan. Lantai ruangan ini lebih tinggi dari ruang depan. Sisi kanan dan sisi kiri ruangan ini digunakan untuk tempat tidur para wanita yang baru menikah.
- Ruang Belakang. Lantainya sejajar dengan ruang depan. Ruang ini berfugsi sebagai dapur.
Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam sebagai guru, keberadaan Rumah Gadang secara nyata merupakan pengejawantahan dari hasil pembelajaran dan pemahaman masyarakat Minangkabau terhadap alam. Jika kita secara cermat mengamati dan memahaminya, maka kita akan menemukan dan mengetahui samudra kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Minangkabau. Secara fisik, arsitektur maupun bentuk Rumah Gadang menunjukkan keselarasan adaptasi terhadap lingkungannya. Atapnya yang lancip merupakan adaptasi terhadap kondisi alam tropis. Dengan alat lancip, maka niscaya air tidak akan mengendap. Oleh karena itu, walaupun hanya terbuat dari ijuk yang berlapis-lapis, Rumah Gadang tidak akan bocor. Demikian juga arsitektur rumah yang membesar ke atas. Tujuannya adalah agar bagian dalam rumah tidak basah karena tempias air hujan yang dibawa angin.
Bentuk rumah yang berkolong juga tidak semata-mata untuk menghindar dari serangan binatang buas, tetapi juga sebagai bentuk penyikapan pada kondisi alam tropis yang panas. Kolong yang tinggi memungkinkan penghuninya mendapatkan hawa segar. Selain itu, pembangunan Rumah Gadang yang memanjang dari utara ke selatan akan menghindarkan penghuninya dari panas matahari dan hembusan angin secara langsung. Dapat dikatakan bahwa arsitektur Rumah Gadang merupakan pengejawantahan kearifan lokal masyarakat yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, dan keseimbangan dengan alam. Selain itu, Rumah Gadang merupakan media untuk mewariskan nilai-nilai adat Minangkabau. Melalui Rumah Gadang, tindak-tanduk para kerabat diatur, seperti kesopanan, tata pergaulan, cara makan, dan bagaimana melakukan interaksi dengan anggota kaum ataupun pihak luar. Selain itu, fungsi utama dari Rumah Gadang adalah sebagai simbol untuk menjaga dan mempertahankan sistem budaya matrilineal--sistem kekerabatan dari garis ibu. Melalui Rumah Gadang inilah, orang-orang Minangkabau menjamin lestarinya sistem matrilineal.
Sumber :
http://gusdiasdial.multiply.com/journal/item/68
http://www.cimbuak.net/content/view/697/7/
http://minang.rantaunet.org/pipermail/palanta_minang.rantaunet.org/2005-November/005913.html
http://ranah-minang.info/content.php?article.13
http://ms.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gadang
0 Response to "UTS TEN Sumatera Barat bagian 4"
Posting Komentar