· Folklore sebagian lisan Kota Semarang
Dugderan adalah suatu upacara yang dilaksanakan tiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Upacara ini merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang yakni etnis Jawa, Tionghoa dan Arab. Nama “Dugderan” diambil dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” tersebut sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadhan. Menurut sejarah upacara Dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak tahun 1881 di kala Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. Upacara ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal dimulainya puasa pada bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu dicapailah suatu kesepakatan untuk menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan yakni dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten dan dibunyikan masing-masing tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.
Perayaan multikultural ini semakin menarik minat masyarakat Semarang dan sekitarnya ditandai dengan makin banyaknya para pedagang yang menjajakan dagangannya yang beraneka ragam seperti minuman, makanan, dan mainan anak-anak seperti perahu-perahuan, celengan, seruling dan gangsing. Selain itu dalam upacara dugderan terdapat ikon berupa “warak ngendhog” berwujud hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Warak ngendhog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan warak ngendhog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi. Dalam upacara dugderan yang dilaksanakan pada Ramadhan tahun 1433 Hijriyyah (tahun 2011) , dugderan diawali dengan upacara pembukaan pawai yang dilakukan di Balai Kota Semarang. Arak-arakan pawai terdiri atas kendaraan hias dari berbagai institusi pemerintahan seperti sekolah hingga pemerintah kota. Para pejabat eselon satu dan Denok-Kenang di kota Semarang mengikuti pawai dengan mengendarai delman. Termasuk pula walikota Semarang, H. Soemarmo HS, yang mengendarai delman berbentuk kereta kuda dan didatangkan langsung dari Surakarta. Dugderan merupakan festival untuk menandai dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadan yang diadakan di Kota Semarang. Perayaan yng telah dimulai sejak masa kolonial ini dipusatkan di daerah Simpang Lima. Perayaan dibuka oleh wali kota dan dimeriahkan oleh sejumlah mercon dan kembang api (nama "dugderan" merupakan onomatope dari suara letusan). Pada perayaan ini beragam barang dijual (semacam pasar malam) dan pada masa kini sering diikutkan berbagai sponsor dari sejumlah industri besar. Meskipun demikian, ada satu mainan yang selalu terkait dengan festival ini, yang dinamakan "warak ngendok". Dugderan dimaksudkan selain sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana dakwah Islam. Dugderan menjadi bagian dari ritual komunitas semarang yang unik. Nguri-uri kabudayan warisan leluhur, dugderan senantiasa dipelihara dengan memperingati berkala setiap tahunnya. Kemasan unik lelampahan warak ngendog yang didapuk jadi lakon sekaligus maskot dugderan, selalu dinanti kehadirannya oleh pemirsa. Bedug Dug… disambut dengan letupan meriam Der… , menengarai simbol yang sarat dengan makna. Dari kemasan yang hingar bingar tersirat semangat dan tekad kuat yang tercetus dalam niat untuk kembali pada perjuangan sebagai manusia yang hakiki. Dengan jelas simbol dari rangkaian perayaan dugderan disampaikan oleh pencetus awal yang sekaligus sebagai pemimpin dan pengemban amanat penerus budaya luhur yaitu kanjeng adipati. Sebagai bagian dari budaya luhur di alam raya ini, simbol yang dimaksudkan sebagai awal perjuangan manusia, sangat relevan dalam perjalaan waktu tiap insan manusia Tanpa bermaksud memuat kepentingan apapun, langkah adipati dalam dugderan menandai perjuangan warga masyarakat sebagai wujud dari manusia universal, sangat kompeten berperan dalam membangun karakter insan manusia ber-budi bawa leksana. Dugderan senantiasa dipengeti agar semangat untuk tetap gigih berjuang dalam memperbaiki diri pribadi, sosial masyarakat dan lingkungan. Bijak diri, bijak sosial budaya, serta bijak ekologi dalam rangka menjaga dan mempercantik warisan budaya dalam wujud apapun, sangat mendesak untuk diwujudkan. Pada tiap perayaan ritus tradisional, pasar malam hampir selalu hadir untuk menambah kemeriahan. Seperti Dugderan di Semarang, atau Sekaten dan suran Mbah Demang di Jogja. Menghadirkan pasar malam telah menjadi tradisi sejak masa Hindu Jawa. Tradisi reramaian diselenggarakan pada era raja raja kerjaan Jawa. Kisah Prabu Brawijaya V raja terakhir Majapahit, dengan sang putra, Raden Patah hendak memboikot, bila keputusannya untuk memeluk Islam tidak disetujui. Dengan irama lagu yang ngelangut untuk melipur hati, justru bikin raja tambah duka. Gamelan pun dimainkan dengan irama riang untuk menghidupkan suasana dan membangkitkan semangat. Sehingga ada yang menyebut sebagai gamelan Kyai Sekati, ditabuh saat raja sedang sesak ati. Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, keramaian rakyat tak dapat lepas dari peran Walisongo. Untuk menyebarkan Islam secara luas, Walisongo memanfaatkan tradisi atau kebiasaan yang telah ada, termasuk kegemaran akan gamelan dan keramaian. Ketika Sunan Kalijaga merayakan Maulud dengan membunyikan gamelan Kyai Sekati (di Kraton Yogyakarta, gamelan ini dikenal dengan nama Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga). Gamelan yang mengalun indah, dengan pelataran masjid yang dihias bunga aneka warna, menarik perhatian khalayak ramai. Mereka pun datang berduyun-duyun, bersukacita dalam kemeriahaan itu, untuk kemudian masuk Islam secara sukarela. Sebagaimana pada keramaian perayaan Dugder, nama upacara ini diambil dari perpaduan bunyi bedug yang dipukul sehingga berbunyi dug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian disuarakan dengan der. Telah dilakukan sejak 1881, tradisi yang dikenal dengan dugderan ini menjadi tanda bahwa bulan Ramadhan sudah menjelang, karena dilaksanakan tepat satu hari sebelum bulan puasa. Kemeriahan seperti itu terus berlangsung di tengah upacara-upacara kerajaan atau untuk menyambut hari besar agama Islam. Namun masyarakat melihatnya bukan lagi sekadar wahana melanggengkan tradisi. Pasar malam yang diadakan mengikuti ritual, menjadi pusat keramaian, sehingga kini nyaris selalu riuh oleh hiburan. Mulai dari stan-stan permainan hingga panggung hiburan. Di sisi lain, momen itu dimanfaatkan pula untuk mengais laba. Beberapa hari sebelum tradisi ritual berlangsung, pedagang telah menggelar dagangannya untuk menyambut pembeli pada saat acara ini dimulai. Maka, pengunjung pun dikenai tiket masuk dan bertaburanlah mereka yang menjajakan jajanan, mainan murah, atau pakaian grosiran di seantero pasar malam. Pasar malam, mendekati dini hari, hiruk pikuk itu perlahan surut. Para pengunjung berangsur pulang dan pedagang pun kukut. Dengan pasar malam,rakyat terhibur, namun yang lebih penting; tradisi tak lekas terkubur. Selain itu ada juga Warak Gendhong. Warak Gendhong adalah dalah mainan khas Kota Semarang yang muncul sekali dan hanya hadir di perayaan tradisi Dugderan. Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang: Cina, Arab dan Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga (Cina), tubuhnya layaknya buraq (Arab), dan empat kakinya menyerupai kaki kambing (Jawa). Tidak jelas asal-usul Warak Ngendog. Binatang rekaan ini hanyalah mainan dalam bentuk patung atau boneka celengan yang terbuat dari gerabah. Siapa yang menginspirasi pembuatannya pun tak ada yang tahu. Yang pasti sejak dugderan digelar, sejumlah pedagang menggelar mainan ini. Dalam setiap penjualan, penjual menaruh telur ayam matang di bawahnya. Telur itu turut serta dijual bersama waraknya. Warak ngendog aslinya memang hanya berupa mainan anak-anak dengan wujud menyerupai hewan. Jika dibandingkan dengan bentuk Warak Ngendog yang ada sekarang ini, Warak Ngendog yang asli terbuat dari gabus tanaman mangrove dan bentuk sudutnya yang lurus. Konon ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis mendalam. Dipercayai bentuk lurus itu menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang. Kata WARAK sendiri berasal dari bahasa arab “Wara’I” yang berarti suci. Dan Ngendog(bertelur) disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di Hari lebaran.Warak Ngendog bagi Kota Semarang sudah menjadi ikon identitas kota dan sudah dikenal hingga keluar daerah. Beberapa titik di pusat kota, bahkan direncanakan akan dibangun patung Warak Ngendog sebagai maskot penegas ciri khas kota.
0 Response to "UTS-ANDINI-SEMARANG (Part III)"
Posting Komentar