Nama : Annas Suryotoro
No Reg : 4423107032
Kampung Naga menghadapi derasnya arus modernisasi dan globalisasi
Keindahan alam dapat kita nikmati saat matahari terbit atau terbenam, saat melihat perpaduan bentuk-bentuk awan,warna langit dan jatuhnya sinar matahari, yang mempertegas benda-benda yang disinari dengan warna warni yang mempesona. Keindahan alami yang tidak di buat oleh manusia: bukit, gunung , pepohonan atau barang-barang yang memperoleh wujud indah akibat peristiwa alam dan suatu kampong yang terdapat di sebuah bukit di hiasi dengan masyarakat tradisionalnya dipadu dengan kearifan lokalnya.
Masyarakat adat kampong Naga menempati sebuah wilayah adat yang disebut Kampong Naga. Nama itu hampir tidak ada hubunganya dengan tempat lain dan Negara lain.
Sebagian dari masyarakat sunda, warga telah memperkaya budaya sunda, di mana prinsip-prinsip yang diwariskan leluhurnya ternyata memilih kearifan dalam system pengetahuan local, sesuatu yang selama ini dikesampingkan oleh manusia modern.
Berbagai system pengetahuan local yang masih tetap dipertahankan itu antara lain menyangkut penyelerasan hubungan dengan alam dan lingkungan. Dalam hubungan itu, warga Kampong Naga, demi kelangsungan hidupnya, mencoba melindungi tempat tinggalnya melalui usaha menjaga kelestarian wilayahnya dengan adanya, hutan larangan dan hutan tutupan.
Namun penetapan kawasan itu hendaknya tidak ditafsirkan sebagai sakralisasi suatu tempat. Hal itu hendaknya lebih di pandang sebagai bagian dari sebuah tradisi dalam system pengetahuan local yang dianut oleh sebuah masyarakat adat untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.
Bagi masyarakat adat Kampong Naga, alam khususnya lagi adalah hutan, merupakan bank dan sekaligus apotek hidup. Hutan menyimpan kekayaan flora dan fauna yang tak ternilai harganya dalam menjaga kelangsungan hidup mereka, baik secara jasmani maupun rohani. Di kawasan hutan, terdapat hasil hutan yang sangat beraneka ragam dan sangat berguna tanpa melakukan perusakan terhadap kawasan itu. Hutan juga bisa menjadi sumber gizi. Selain itu, sebagai masyarakat tradisional, hutan juga memiliki berbagai jenis tumbuhan, di mana daun, buah dan umbinya bisa dijadikan obat.
Secara rohaniah, hutan juga telah membentuk system nilai, budaya dan tradisi serta peradaban warga Kampong Naga. Hubungan itu sudah berlangsung lama sebagai warisan dari leluhurnya.
Dengan meletakan posisi pada pandangan tersebut, maka alam harus diakrabi, bukan sebaliknya malah dimusuhi. Pohon-pohonya ditebang. Satwanya diburu dan kemudian dibantai. Seperti halnya manusia, alam juga membutuhkan perlakuan sesuai dengan kehendaknya, karena hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang saling membutuhkan pengalaman selama ini cukup membuktikan kepada kita, betapa besar akibat kekeliruan yang selama ini dilakukan oleh manusia terhadap alam. Bencana banjir, longsor dan bencana alam lainya hanyalah salah satu bentuk manifestasinya.
Rona lingkungan hidup biogeofisik kampong tersebut berbeda dari kampong-kampung masyarakat sunda sekitarnya. Pada daerah yang letaknya di sebelah hulu yang berbentuk punggung bukit, wilayahnya merupakan hutan alam yang relative masih utuh, sehingga fungsi hidro-orologinya masih berperan baik menjadi sumber daya air. Sementara bagian punggung bukit yang letaknya berdampingan dengan tempat permukiman mereka, ditanami berbagai jenis pohon.
Pohon-pohon tersebut menghasilkan berbagai sumber daya yang dibutuhkan seperti akar, buah, biji-bijian, dan dedaunan yang memiliki fungsi tertentu bagi kelangsungan hidupnya, mengingat hutan tidak hanya merupakan tempat di mana tumbuh sekelompok tanaman. Dari hasil yang bisa diperoleh dari hutan berfungsi sebagai bahan pangan, obat-obatan, makanan, produk industri kerajinan.
Sejalan dengan perjalanan waktu, masyarakat adat Kampong Naga telah membuktikan dirinya mampu menghadapi diri dari pengaruh-pengaruh luar tersebut berbagai tradisi yang ditampilkan dalam upacara-upacara ritual masih terus diselenggarakan secara teratur.
Tempat Kampong Naga, Kampong Naga berada diantara bukit-bukit di daerah salawu, seolah tersembunyi di sebuah daerah yang berbentuk lembah sehingga jauh dari keramian lalu lintas jalur Garut-Tasikmalaya. Luas Kampong Naga kurang lebih 10 hektar, wilayahnya termasuk dalam Desa Neglasari, Kecamatan salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Luas desa 305 hektar , terdiri atas tanah berupa dataran.
Satu-satunya jalan untuk menuju kampong naga melewati 335 anak tangga julukan orang iseng saja karena kelelahan turun naik melewati jalan setapak berupa anak tangga tersebut. Sebelumnya jalan ini licin sebelum diperkeras dengan adukan semen dan pasir.
Ciri khas daerahnya berupa bangunan khas naga, berjejer dalam deretan atap ijuk berwarna hitam, menyembul di balik kerimbunan pepohonan yang hijau rindang. Semilir angin bertiup lembut mengatarkan udara segar berbau pepohonan hutan.
Berdasarkan kepercayaan kemiringan tanah merupakan tempat ideal karena akan memperoleh sinar matahari pagi yang lebih banyak sehingga masyarakat menjadi sehat dan tanaman akan tumbuh subur. Masyarakat kampong naga , baik yang tinggal di Kampong Naga maupun yang tinggal di luar kampong naga beranggapan bahwa kampong naga merupakan warisan tanah leluhur, sehingga mereka berkewajiban menjaganya. Baik dalam perilaku sehari-hari maupun dalam upacara-upacara ritual yang diselenggarakan secara tetap.
Dalam kehidupan keseharian, diperlihatkan pada tradisi dan pergaulan masyarakatnya yang intinya mengandung nilai-nilai kearifan tradisional. Dan dalam keseharian berlaku tabu untuk hal-hal tertentu. Misalnya kedatangan teman dari universitas negri Jakarta pada awal tahun 2012 pada waktu itu kunjungan ke Kampong Naga dengan khas gaya kekota-kotan.
Tanpa di pungkiri mereka menapis dan menyaring pengaruh nilai-nilai baru tersebut tanpa mengakibatkan mereka mengisolasi diri. Tetapi masyarat Kampong Naga memperkenalkan tradisinya ke mereka sehingga terasa aneh bagi mereka yang telah lama yang tinggal di perkotaan dengan kearifan local mereka bertanya, berdiskusi dan memahami tentang tatanan social yang tidak boleh di langgar.
Agama dan Kepercayaan
Secara keseluruhan, warga Kampong Naga sebenarnya merupakan pemeluk agama islam. Untuk menjalankan ibadahnya, sebuah mesjid berbentuk bangunan panggung didirikan di tengah permukiman mereka. Mesjid selain merupakan tempat melaksanakan sholat, juga sebagai tempat untuk mengaji.
Sebagai masyarakat tradisional , mereka juga mempercayai bahwa hari-hari memiliki makna magis religious, sehingga sebelum menetapkan aktifitas kehidupanya, terlebih dahulu mereka mempertimbangkan saat-saat yang paling cocok. Perhitungnya didasarkan atas kelahiran orang tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dan mereka mempercayai adanya makluk halus yang menghuni lubuk-lubuk sungai paling dalam, pohon-pohon besar dan tempat-tempat yang dianggap angker atau keramat. Karena itu, untuk menjaga permukimanya dari gangguan roh jahat, mereka memasang kandang jaga, dalam waktu tertentu, pagar tersebut diganti.
Masyarakat Kampong Naga juga mengenal nyepi, merupakan saat melakukan intropeksi diri. Karena itu pelaksanaannya tidak boleh terganggu oleh kegiatan lain misalnya ritual dan upacara apabila waktunya bersamaan maka akan di majukan atau di undurkan harinya. Untuk menjaganya masyarakat kampong naga mempunyai hari tertentu, yakni selasa, rabu, sabtu. akan tetapi masih melakukan aktifitas sehari-hari.
Tatanan masyarakat Kampong Naga
Ada dua sebutan bagi masyarakat Kampung Naga yaitu Sanaga dan warga Kampong Naga, bagi Sanaga sendiri adalah warga Kampong Naga yang tinggal diluar kampong naga, bagi Sanaga Tempat tinggalnya di bolehkan mengikuti daerah yang ditinggalinya, dan apabila sanaga. Lain waktu mendapat kesempatan kembali ke daerahnya dia harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada di Kampong Naga.
Warga kampong naga adalah warga yang mendiami dan bertempat tinggal di Kampong Naga. Tempat permukiman masyarakat Kampong Naga dikelilingi oleh sawah dan hutan tutupan. Sebagian lagi berupa kolam, penampungan air dan sekaligus menjadi tempat peliharaan hewan dan ikan.
Dan juga ada kawasan-kawasan yang telah di tentukan oleh Kampong Naga misalnya kawasan suci, kawasan yang meliputi bagian barat kampong naga terdapat bukit-bukit kecil yang ditumbuhi pohon-pohon tua dan kuburan masyarakat Kampong Naga. kawasan bersih, kawasan yang selama ini dijadikan tempat permukiman warga kampong naga beserta bangunan-bangunan rumah dengan gaya arsitektur tradisional sunda. Kawasan kotor, kawasan yang permukaan tanahnya lebih rendah letaknya bersebelahan dengan sungai ciwulan yang sekaligus batas Kampong Naga. Meliputi bangunan penunjang misalnya pancuran yang digunakan untuk mandi dan cuci serta keperluan lain, kandang ternak, dan kolam.
Sejarah dan asal-usul leluhur Kampong Naga
Selama ini lebih banyak disampaikan secara lisan. Dalam kisah diungkapkan bahwa leluhur mereka adalah Sembah Dalem Eyang Singaparana. Namun, ada pula yang menyebutnya Singaparna, beliau mempunyai enam orang saudara, yang pertama, Raden Kagok Katalayan Nu Lencing Sang Seda Sakti mempunyai ilmu kawedukan (ilmu yang mengajarkan kekebalan fisik) di makamkan di Taruju, Tasikmalaya. Yang kedua, Ratu Kuncung Kudratullah, yang disebut juga Eyang Mudik Batara Karang, mempunyai ilmu kabedasan (ilmu yang mengajarkan kekuatan fisik) dimakamkan karang nunggal, tasikmalaya selatan. Yang ketiga, pangeran Mangku Bawang, memperoleh warisan kaduniawian dan dimakamkan di mataram. Yang keempat Sunan Gunung Jati Kalijaga memperoleh pengetahuan bertani dimakamkan di Cirebon. Yang kelima, Sunan Gunung komara mempunyai ilmu kapercayaan di makamkan di Banten. Yang keenam pangeran kudratullah mempunyai ilmu pengetahuan Agama Islam di makamkan di Gadog, Garut
Kepala adat
Kepala adat dalam masyarakat Kampong Naga disebut kuncen, kuncen bisa berarti juru kunci. Dalam bahasa sunda sama dengan pancen, karena sebagian di pegang kaum laki-laki maka disebut pakuncen.
Persyaratanya menjadi kuncen, jika usianya sudah mencapai 35 tahun. Sudah menikah dan menguasai adat-istiadat, serta tata cara pelaksanaan upacara adat dan keturunan.
Tugas kuncen masyarakat Kampong Naga yang paling utama adalah menjaga dan mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhurnya. Karena itu, selain tugas utamanya memimpin upacara ritual dan berbagai upacara lainya yang berhubungan dengan tradisi masyarakatnya, seorang kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan mengatur tamu-tamunya yang akan berziarah ke makam Sembah Dalem Eyang Singaparana.
Di samping itu, sebagai panutan masyarakatnya maka ucapan, nasihat serta saran-saranya yang berhubungan dengan adat-istiadat, tradisi dari leluhurnya merupakan anjuran yang harus dipatuhi. Namun kekuasaan dan otoritas yang melekat dalam dirinya masih di batasi oleh pikukuh (ketentuan tidak tertulis yang membatasi perilaku dan perbuatan seseorang) yang di wariskan oleh leluhurnya.
Dalam tuganya di bantu dengan lebe atau amil, lebe bertugas sebagai pelaksana teknis dalam berbagai upacara, misalnya dalam penyelenggaraan upacara perkawinan, kematian dan membantu atau menggantikan tugas kuncen jika berhalangan. Sedangkan menerima kunjungan tamu dan penghubung dengan pemerintah desa setempat dibantu dengan punduh. Untuk memelihara bumi ageng di bantu dengan seorang wanita yang sudah paruh baya disebut dengan patunggon.
Rumah masyarakat Kampong Naga
Bangunan rumah warga Kampong Naga berbentuk rumah panggung. Hampir seluruh bahan bangunannya terbuat dari bahan-bahan lokal yang mudah di dapat di daerah setempat, kecuali untuk beberapa bagian tertentu seperti paku dan kaca untuk daun jendela. Sesuai dengan pikukuh leluhurnya, mereka tabu membangun rumah tembok dengan atap genting, walaupun secara ekonomi memungkinkan untuk membangun.
Atapnya yang dilapisi ijuk berbentuk memanjang sehingga disebut suhunan panjang. Namun ada pula yang menyebutnya suhunan julang ngapak, sebuah ciri dari bangunan tradisional sunda. Atap bangunan rumah-rumah tersebut betapapun rapatnya bangunan rumah di sana, bagian ujungnya tidak boleh menutup atap bangunan rumah di sebelahnya.
Ujung atap bagian atasnya dipasangi gelang-gelang. Tiang gelang-gelang terbuat dari sepasang bambu setinggikurang lebih setengah meter dari puncak atap sehingga bentuknya menyerupai tanduk atau huruf V bambu gelang-gelang itu kemudian di lilit tambang ijuk lalu bagian atasnya ditutup batok kelapa, sehingga terlindung dari terik matahari dan siraman hujan.
Karena bentuk gelang-gelang seperti itu, maka ada sebagian orang yang menamakanya cagak gunting atau capit hurang. Mungkin karena bentuknya diasosiakan menyerupai gunting atau capit udang galah yang besar.
Karena rumah merupakan pencerminan dari dunia kecil yang dijadikan tempat tinggal, maka pembangunan rumah selalu didahului dengan berbagai upacara. Bahkan hal itu sudah dilakukan sejak menebang pohon untuk kebutuhan balok, papan atau bahan bangunan lainya, melalui upacara.
Bahan bangunan dari kayu biasanya untuk memenuhi pembuatan tiang usuk dan papan. Selain kayu, dibutuhkan pula bambu untuk membuat dinding atau lantai rumah. Atapnya terbuat dari alang-alang agar pada musim hujan tidak bocor pada bagian atas susunan alang-alang maupun susunan ijuk yang dijadikan atap, sebelumnya sudah dirapikan lebih dulu pada sebilah bambu.
Pekerjaaan membangun rumah dipercayakan kepada tukang, pembangunan dimulai dengan memasang balok-balok kayu untuk tiang, lalu bagian lainya yang jadi peyangga. Karena bangunannya merupakan rumah panggung, maka tiang-tiang utama bangunan tersebut diberi alas tatapakan, tatapakan bisa berupa batu, tetapi adakalanya juga berupa kayu keras.
Batu atau kayu keras yang dijadikan sebenarnya merupakan untuk mencegah kontak langsung bagian bawah tiang rumah dengan tanah, maksudnya agar tiang tersebut tidak cepat lapuk akibat kontak langsung dengan tanah selain itu, berfungsi sebagai fondasi yang menahan gaya berat rumah. Pembagian ruang rumah, dalam pandangan masyarakat Naga harus dilihat sebagai kategorisasi ritual yang di tata berdasarkan katagori jenis kelamin dan perannya dalam keluarga. Karena itu, yang disebut ruang laki-laki selalu berada di bagian depan sebaliknya kaum wanita yang bertugas mengatur keluarga, menguasai ruang lainnya yang disebut dapur.
Urutan letak ruang yaitu golodog terbuat dari bambu dan berfungsi sebagai tangga masuk karena bangunanya berbentuk panggung, ruang paling depan yang biasanya dijadikan ruang tamu disebut tepas imah, bagian tengah dari ruang rumah disebut tengah imah, ruangan tempat tidur disebut pangkeng, ruang rumah wilayah kekuasaan kaum wanita disebut dapur dan goah, tempat menyimpan alat-alat pertanian, kayu bakar dan dijadikan kadang hewan yang terletak dibawah rumah disebut kolong imah.
Kegiatan perekonomian masyarakat Kampong Naga
Masyarakat Kampong Naga selama ini adalah bertani dan membuat kerajinan dengan bahan baku dari bambu. Kegiatan bertani itu digeluti sebagai mata pencarian pokok mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian lainnya ada yang memelihara ternak domba, ayam, atau memelihara ikan di kolam, dan berjualan secara kecil-kecilan di depan rumah masing-masing. Namun jumlahnya sangat kecil, sehingga membuat kerajinan dan bertani merupakan dua kegiatan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga mereka.
Upacara-upacara masyarakat Kampong Naga
Hajat sasih merupakan upacara ritual yang agenda pelaksanaannya diselenggarakan secara tetap. Upacara tersebut berlangsung enam kali dalam setahun dengan waktu yang sudah ditentukan dan tidak boleh diubah.
Ziarah makam leluhur, masyarakat kampong Naga percaya bahwa leluhur mereka adalah Sembah Dalem Eyang Singaparana.
Beberesih artinya membersihkan diri, bermakna membersihkan jasmani (fisik) tetapi juga rohani (jiwa) kegiatannya ditandai dengan isyarat melalui bunyi kentongan kohkol di mesjid.
Pakaian khas Naga, bentuknya menyerupai jubah berlengan panjang. Sebagian besar warnanya putih, namun ada pula yang berwarna biru telur asin. Mereka menggunakan tutup kepala yang disebut totopong, atau iket khas masyarakat Kampong Naga.
Unjuk-unjuk adalah sebuah sikap berhenti sejenak mencerminkan penghormatan kepada leluhur yang dipimpin kuncen sebelum memasuki area permakaman.
Murak tumpeng adalah santapan makan siang bersama-sama dengan masyarakat yang sudah di doakan oleh kuncen.
Gusaran sama artinya dengan sunatan tetapi di kampong naga diselenggarakan setiap tahun. Bulan rayagung, merupakan bulan terakhir dalam tahun Hijriah yang ditandai dengan adanya upacara Gusaran.
Perkawinan dalam Kampong Naga dilaksanakan secara sederhana dan ada beberapa rangkaian kegiatanya meliputi nanyaan, ngalamar, lalu mawakeun atau seserahan kemudian menentukan hari perkawinan dan di hibur dengan terbangan atau terbang gembung yang merupakan kesenian khas masyarakat Kampong naga.
Terbang gembrung merupakan alat music tradisonal terbuat dari dua bahan dasar. Bingkainya yang merupakan tabung suara, terbuat dari kayu yang dibuat sedemikian rupa dengan bentuk pipih dan bundar. Bagian tengahnya dibiarkan kosong pada salah satu sisi yang dijadikan muka terbang kemudian ditutup dengan kulit domba.
Tradisi dan cara hidup masyarakat Kampung Naga telah memberikan contoh kepada kita tentang keteguhan mereka dalam menjalani tradisi untuk menghadapi arus modernisasi dan globalisasi yang merupakan penyebab pergeseran budaya, karena budaya luar tidak sesuai dengan budaya kita.
Sumber Bahan :
Wawancara:
- Kunjungan ke Kampung Naga
- Bertanya dengan punduh (wakil dari kuncen)
- Bersoliasasi dengan masyarakat Kampong Naga
Buku :
- Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas, Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak. Yogyakarta: LKIS.
- Djelantik, A.A.M. 2008. ESTETIKA. Jakarta: MSPI.
- Suganda, Her. 2006. Kampong Naga mempertahankan Tradisi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
- Gambar atau foto By Fuad A Saad
0 Response to " "
Posting Komentar